1.
Latar
belakang
Era Reformasi Masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa
transformasi. Era Reformasi telah lahir dalam masyarakat Indonesia ingin
mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Dalam bidang pendidikan nasional
juga telah muncul berbagai pendapat dan pandangan mengenai perlunya reformasi
pendidikan nasional tuntutan reformasi total dalam kehidupan berbangsa termasuk
di dalamnya reformasi pendidikan nasional semakin lama semakin perlu, mengingat
proses pendidikan merupakan salah satu tuntutan konstitusi yang mengatakan
bahwa tujuan untuk membangun negara yang merdeka ini ialah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dalam rangka mencapai
masyarakat belajar (learnig society) perlu diberikan kebebasan kepada warga
masyarakat untuk belajar apa saja yang diminati atau dibutuhkannya, asalkan
tidak bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa. Demikian juga dalam
melaksanakan prinsip belajar seumur hidup, harus diberikan kesempatan dan
kebebasan kepada siapa saja warga masyarakat untuk memperoleh pendidikan apa
saja, dari siapa saja, di mana saja, pada jalur dan jenjang mana saja dan kapan
saja, yang sesuai dengan kebutuhan pribadi, serta selaras dengan kebutuhan
pembangunan dan lingkungan. Selama ini kebijakan pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan telah dianggap sebagai suatu keharusan atau amanat
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan karena itu tidak dianggap sebagai
campur tangan berlebihan dari pemerintah. Padahal amanat mencerdaskan kehidupan
bangsa adalah salah satu tujuan nasional negara dan bangsa, dan karena itu
menjadi tanggung jawab semua warga negara, jadi tidak hanya pemerintah.
2.
Rumusan Masalah:
Berdasarkan
latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa itu Reformasi Pendidikan?
2. Bagaimana reformasi
Pendidikan di Era Otonomi Daerah?
3.
Tujuan Penulis
1. Untuk
mengetahui pengertian Reformasi Pendidikan
2. Untuk
mengetahui bentuk Reformasi dalam Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Reformasi
Reformasi pendidikan
yaitu dengan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi
daerah yang akan sangat menentukan sistem pendidikan nasional dimasa depan.
Desentralisasi adalah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan
yang menekankan kepada kebinekaan. Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada
merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna
seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat
dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu
adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya
pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan,
adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi
tertentu baikdalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti
negara sekalipun.
2.2 Hakikat Reformasi Pendidikan
Pada hakikatnya
reformasi pendidikan yaitu dengan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan
dalam rangka otonomi daerah yang akan sangat menentukan sistem pendidikan
nasional dimasa depan. Desentralisasi adalah sistem manajemen untuk mewujudkan
pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebinekaan. Gagasan ini dilatar
belakangi oleh pemikiran bahwa setian daerah memiliki sejarahnya sendiri,
kondisi dan potensinya sendiri yang berbeda satu sama lain. Daerahlah yang
lebih banyak mengetahui keadaan dirinya, permasalahannya dan aspirasinya. Tujuan
utama dari hakikat reformasi pendidikan adalah membangun suatu sistem
pendidikan nasional yang lebih baik, lebih maju dengan seoptimal mungkin
memberdayakan potensi daerah dan partisipasi masyarakat lokal. Dalam hal ini,
perlu ditekankan bahwa pengelolaan pendidikan menjadi lebih berkonteks lokal,
namun semuanya harus tetap berada dalam kerangka satu sistem pendidikan
nasional dibawah NKRI. Dengan kata lain, dengan diberlakukannya otonomi daerah
termasuk dalam bidang pendidikan, tida ada yang disebut “sitem pendidikan
daerah” karena yang ada “sistem pendidikan nasional” yang sebagian besar urusan
atau penyelenggaraannya dilaksanakan oleh daerah.
Mengenai “hanya
ada satu sistem pendidikan nasional di Indonesia”, UUD 1945 pasal 31 ayat (2)
menyatakan, “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”. [1]
a.
Reformasi dalam
pendidikan
Gagasan reformasi pendidikan saat ini memiliki momentum yang amat mendasar,
dan berbeda dengan gagasan yang sama pada era sebelumnya. Salah satu perubahan
mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah lahirnya UU No. 22 tahun 1999, serta UU No. 20tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas).
Pada awal abad ke-21, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh
dibawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang dan Malaysia.
Bahkan jika dilihat dari indeks sumber daya manusia, yang salah satunya
indikatornya adalah sektor pendidikan, posisi Indonesia kian menurun dari tahun
ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia
yang sudah tidak bisa dihindari.
Lemahnya SDM hasil
pendidikan juga mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari keterpurkan
sektor ekonomi yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Indikator lain
yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat
dari data UNESCO tahun 2000 tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat mencapai pendidikan,
kesehatan dan penghasilan perkepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan
manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia
menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998,
dan ke-109 tahun 1999, dan menurun keurutan 112 pada tahun 2000.[2]
Gagasan-gagasan tentang
reformasi pendidikan di Indonesia menjadi sangat relevan, terutama dalam
konteks penyiapan SDM yang berkualitas yang harus dimulai dengan perbaikan
pendidikan pada semua jenjang dan jalur, dengan perbaikan komprehensif meliputi
perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana
pembelajaran, serta perbaikan manajemen yang semuanya itu perlu dilakukan untuk
mencapai perbaikan pada hasil pendidikan. Kemudian perkembangan dunia, memasuki
abad ke 21 ini, semua penduduk dunia mengahdapi persoalan yang sama, yang
mengkerucut pada tiga perseolan besar, yaitu perseolan kependudukan, inter
dependensi negara dan dunia usaha, serta kemajuan sains dan teknologi.
Kemudian ketergantungan
negara dengan negara lain, juga sangat kuat terutama setelah berkembangnya
keterbukaan ekonomi dunia dan berkembangnya sistem ekonomi liberal hampir
diseluruh pelosok dunia, yaitu saling ketergantungan politik, ekonomi, dan
berbagai aktifitas kultural sudah tidak bisa dielakkan, seperti fenomena pasar
uang dan pertukaran mata uang dunia.
Inilah berbagai kemajuan
dunia yang harus disikapi dan responi oleh pendidikan, walaupun secara teoretik
berbagai kemajuan ekonomi yang didukung oleh berbagai kemajuan sains dan
teknologi. Terkait dengan persoalan serta pandangan diatas ada beberapa
pemikiran tentang pengembangan konteks pendidikan kedepan dalam memasuki abad
ke-21 yang membawa berbagai problematika ekonomi, sosial dan politik. Pemikiran-pemikiran
tersebut sebagai berikut :
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi dalam proses
pendidikan menjadi sangat banyak, dan bisa dikhawatirkan akan membuat stagnasi
pengembangan ilmu dan peradaban, khususnya pada level pendidikan tinggi. Oleh
sebab itu, struktur program pendidikan tinggi harus mampu memberikan jaminan pemberian reward dan insentif
yang memadai untuk pengembangan ilmu dan teknologi pada level pendidikan tinggi
tersebut, hingga temuan-temuan baru dalam bidang sains dan teknologi terus
bertambah dan peradaban terus meningkat. [3]
2. Perkembangan teknologi akan terjadi terus menerus dan bisa terjadi dalam
percepatan yang tinggi di berbagai negara yang berbeda-beda, dan akan
mepengaruhi perkembangan ekonomi melalui industri dan jasa. Oleh sebab itu,
pendidikan harus mampu menjembatani antara sektor kerja dengan kemajuan ilmu
danteknologi tersebut, melalui updating skill dan keterampilan serta
berbagai temuan baru yang harus dikuasai oleh pekerja yang terkait dengan
kemajuan ilmu dan teknologi.
3. Adanya perubahan demografis akan terjadi dimana-mana dan akan membawa
implikasi penduduk berdasarkan usia. Di negara-negara tertinggal akan memiliki
indeks kelahiran yang tinggi dan akan terus meminta perhatian untuk memperoleh
prioritas. Sementara di negara-negara maju, angka kelahiran cenderung menurun.
4. Negara-negara terus akan menjadisaling ketergantungan satu dengan yang
lainya, yang tidak saja dalam sektor ekonomi dengan dibukanya pasar uang
disetiap negara, tapi juga sektor politik dan ilmu pengetahuan teknologi. Oleh
sebab itu, pendidikan harus mampu membuka cakrawala globalisasi yang terjadi,
dan mampu mengarahkan sikap-sikap multikulturalisme, yang harus mereka miliki
ketika akan memasuki pasar tenaga kerja didalam maupun diluar negeri.
5. Kemajuan ilmu dan teknologi yang mendorong kemajuan sektor ekonomi pasar
secara global, akan membawa akibat terbentuknya masyarakat dunia baru.
Pendidikan harus mampu mendisain masyarakat sebagai humanis, cinta lingkungan,
memelihara kestabilan ekosistem, anti narkoba dan senantiasa hidup sehat. [4]
Pendidikan di Indonesia memang menghadapi masalah besar yakni persoalan
internal dan eksternal. Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan dan
strategi resrukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat dan
akseleratif. Sementara secara eksternal berbagai tantangan dan peluang justru
menunggu peningkatan tersebut agar menjadi kompetitif. Reformasi pendidikan di
Indonesia merupakan sebuah keharusan dengan perbaikan menyeluruh dalam semua
aspeknya, agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki
daya saing yang tinggi dalam level dan jenis apapun profesinya.
Reformasi pendidikan tidak cukup hanya perbaikan dan perubahan dalam sektor
kurikulum, baik struktur maupun prosedur perumusannya, serta pola pengelolaan
sekolah yang berbasis pada masyarakat, namun siswa-siswanya sendiri harus
diberi arah pandangan tentang arah belajar itu sendiri, bahwa bersekolah
bukanlah sebuah formalitas sebagai warga negara yang baik, tapi mereka harus
memperoleh kompetensi yang telah disepakati oleh kepala sekolah, guru, orang
tua, serta penggunaan dari pendidikan itu sendiri. Mereka harus memiliki etos
dan tanggung jawab belajar agar mencapai kompetensi minimal yang telah
digariskan, sehingga tidak ada lagi siswa yang keluar dari sekolah dengan skor
6,9. Mereka bisa keluar dan lulus dengan skorminimal setiap mata pelajaran 7,00
atau 8,00. Dengan kata lain para siswa disadarkan bahwa reformasi ini menuju
pada pola mastery learning, dan mereka harus memperbaiki
kompetensi disaat liburan, jika skor mata pelajaran tertentu belum terjangkau
angka minimal lulus yang ditetapkan sekolah, melalui program remedial
atau reinforcement. [5]
Demikian pula dengan guru, mereka harus mengubah filosofi bekerja sebagai
guru, karena tugas guru selesai saat telah memenuhi tugas dan jam wajib
untukmasuk kelas, tapi mengubah siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
mengerti menjadi mengerti , daritidak bisa menjadi bisa, dan tidak memiliki
kompetensi menjadi memiliki kompetensi, dan dari tidak aktif belajar menjadi
aktif belajar, dari tidak terlibat dalam diskusi dan penyelesain tugas sekolah
menjadi terlibat dengan aktif dalam penyelesaian tugas-tugas tersebut. Dalam
konteks ini, reformasi bukan menghadirkan pola baru, tapi menghidupkan dokrin
klasik keguruan dan menghidupkannya dalam kultur kerja keguruan.
Berbagai konsekuensi dari upaya-upaya reformasi ini adalah
perubahan-perubahan yang tidak bisa dielakkan. Seperti menurunnya peran
birokrasi dalam kebijakan kurikulum operasional karena lebih banyak ditentukan
oleh sekolah bersama komite sekolahnya sendiri. Demikian pula, bila suatu saat
mata pelajaran tertentu memperoleh posisi sangat kuat dan prestigious,
mungkin suatu saat tergeser oleh mata pelajaran lain yang menjadi aksentuasi
dan benchmark sekolah tersebut. Setiap perubahan membawa konsekuensi,
dan konsekuensi itu harus dihadapi bukan ditakuti, karena pasti terjadi.
Pandangan dan analisis beberapa faktor pentig yang mendasari pentingnya
reformasi pendidikan, yaitu :
1. Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan
indikator rendahnya kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki
jenjang perguruan tinggi.
2. Perkembangan perekonomian dunia yang semuanya itu merupakan peluang sekaligus
ancaman, yang harus dihadapi dengan kesiapan kualitas SDM yang kompetitif.
2.3 Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah
Kata
otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu auto yang berarti sendiri dan nomos
berarti hukum. Jadi, secara harfiah otonomi berarti hukum sendiri. Inti dari
otonomi adalah kesediaan dan kesanggupan untuk mengatur diri sendiri. Menurut
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. [6]Istilah
demokrasi memang muncul dan dipakai dalam kajian politik, yang maknanya
kekuasaan negara berada di tangan rakyat melalui undang-undang yang diputuskan
rakyat, bukan oleh kekuasaan raja atau sultan. Kemudian presiden di angkat oleh
rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat melalui mekanisme
perwakilan.[7]
Otonomi
Daerah diselanggarakan melaui tiga pelaksanaan asas yaitu asas desentralisasi,
asas dekonsentrasi dan asas pembantuan. Adapun tujun otonomi kepada daerah
ialah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan bisa mengatur dan mengurus
rumah tanggaya sendiri. Dalam pelaksaannya hubungan antara pusat dan daerah itu
justru kurang mendukung pengembangan otonomi daerah. Kondisi ini muncul karena
: (1) pemerintah pusat sering bertindak sebagai pemrkarsa, sedangkan daerah
lebih berfungsi sebagai fasilitator terhadap program yang dirancang pusat, (2)
pembagian wewenang hak dan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan antara
pusat dan daerah selalu dikaitkan dengan sistem penyerahan urusan rumah tangga
daerah, dan (3) batasan tugas pembantuan dalam UU No.5 Tahun 1974 lebih
mengarah pada batasan dekonsentrasi itu sendiri. Adanya penetapan jenjang
pemerintahan yang menghubungkan pemerintahan pusat dan daerah masih membutuhkan
sentralisasi. Dengan kata lain, kurangnya pelaksanaan otonomi daerah karena
tampaknya belum didukung oleh kesungguhan pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan pelayanan masyarakat. Pemerintah menegaskan kembali komitmennya
untuk melaksanakan otonomi daerah dengan titik berat pada Dati II.Pada tanggal
25 April 1995 Presiden RI mencanangkan Hari Otonomi Daerah. Pelaksanaan yang
dilakukan sejak tahun 1995/1996 ini semula untuk diarahkan menghasilkan
beberapa Dati II. Pelaksanaan yang diserahkan tersebut meliputi bidang
pertanian,peternakan, perikanan, perdagangan, kesehatan,perindustrian, serta
pendidikan dan kebudayaan.
Arah
kebijakan nasional untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada daerah juga
dilaksanakan pada sektor pendidikan. Pemerintah pusat atau dediknas memberikan
persiapan dan
pelaksanaan proyek wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yan semuanya
ditangani oleh pusat dan diserahkan kepada kantor wilayah dediknas. Selama
pembangunan nasional jangka panjang pertama dimulai pada tahun 1969/1970,
bangsa Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan besar terutama dalam
pelaksanaan pemerataan kesempatan untuk memasuki sekolah atau (equality of
access) di jenjang sekolah dasar. Pada tahun 1995/1996, angka partisipasi
murni usia sekolah SD/MI (7-12 tahun) telah mencapai lebih dari 95 %, sedangkan
angka melanjutkan lulusan SD/MI ke SLTP mencapai 71,29%. Keberhasilan ini,
antara lain karena didukung oleh pendanaan yang sangat besar melalui program
inpres SD yang memungkinkan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan,
peningkatan jumlah dan kemampuan tenaga kerja
pengajar, perbaikan metode belajar dan penyempurnakan kurikulum.[8]
Sayangnya, selama ini aspek manajemen pendidikan, baik ditingkat pusat, daerah
maupun disatuan pendidikan, belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
sehingga seluruh komponen sistem pendidikan kurang berfungsi secara
terkoordinasi dan terpadu.pada tahun 1995/1996 angka mengulang kelas SD 7,08 %
dan putus sekolah 2,7 %. Sejalan dengan arah desentralisasi, para pakar
pendidikan dalam lokakarya tersebut merekomendasikan agar pengelolaan
pendidikan dasar dilimpahkan Dati II (Kabupaten/Kota).
[1] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks
Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), hal. 123.
[2] Dede Rosyada, Paradigma Pendiikan Demokratis, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), hal. 3-4.
[3] Dede Rosyada,Paradigma Pendidikan Demokratis, ( Jakarta:
Prenada Media,2004),hal.7
[4] Ibid,hal.8.
[5] Dede Rosyada,Paraigma Pendidikan Demokrasi, (Jakarta:Prenada
Media,2004),hal.13-14.
[6] Muhammad Yusuf Husen,Pendidikan Kewarganegaraan, (Banda
Aceh:Civic Education,2006),hal.97.
[7] Dede Rosyada,Paradigma Pendidikan Demokrasi, (Jakarta:Prenada
Media,2004),hal.15.
[8] Dedi Supriadi,Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah,
( Yogyakarta:Adicita Karya Nusa,2001),hal.129.