Artikel Sumber Ajaran Islam - Kimia dan Pendidikan
News Update
Loading...

Monday 4 July 2016

Artikel Sumber Ajaran Islam

ARTIKEL SUMBER AJARAN ISLAM

Rafi Mariska
Dian Salwa
Salma Hayati, S.Ag., M.Ed 
Abstrak

alquran sumber ajaran islam        Islam memiliki sumber ajaran yang terjamin kebenarannya. Alquran merupakan sumber utama Islam. Sumber ini yang akan menjaga kesakralan Islam. Alquran turun 14 abad yang lalu, tapi kehebatannya masih tidak terdandingi hingga sekarang, bahkan ilmuan sekalipun mengakui kebenaran  dan kehebatan Alquran. Alquran memiliki kemampuan balaghah (diksi) yang sangat tinggi, sehingga tidak bisa ditafsirkan sesuka hati. Oleh karena itu, Alquran membutuhkan hadis untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat sehingga akan melahirkan hukum yang baru. Seiring berkembangnya zaman, manusia memiliki banyak persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan Alquran dan hadis saja, seperti contoh hukum mengikuti KB (Keluarga Berencana), bayi tabung dan sebagainya. Oleh karena itu, para ulama sepakat mencurahkan segala kemampuannya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan  baru yang belum terselesaikan di dalam Alquran dan hadis, sehingga lahirlah sumber hukum baru yang lebih dikenal dengan istilah  Ijtihad Ulama.
Kata-kata kunci : sumber ajaran, hadis, sumber hukum Islam, Alquran, Ijtihad, Sunnah

A.           PENDAHULUAN

      Agama Islam merupakan agama yang rahmat bagi sekalian alam. Sebagai agama yang rahmat bagi sekalian alam, Islam tentunya memiliki petunjuk yang teruji kebenarannya. Petunjuk-petunjuk agama Islam tersebut mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan hadis. Penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Alquran dan as-sunnah. Namun, ada kalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan sumber hukum baru yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan hukum tersebut, yang dikenal dengan istilah ijtihad ulama. Artikel ini membahas tentang sumber-sumber hukum  Islam.

B.            SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM

        Seperti yang kita ketahui bersama, Islam memiliki sumber-sumber ajaran. Sumber-sumber ajaran tersebut adalah Alquran, Hadis dan Ijtihad. Sumber-sumber ajaran tersebut akan kami jelaskan di bawah ini.

a.        Alquran sebagai Sumber Ajaran

        Alquran adalah kalam (perkataan) Allah swt. yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril yang berfungsi sebagai sumber petunjuk bagi manusia. Alquran sama sekali tidak ada keraguan padanya.[1] Alquran mengatur tentang segala permasalahan yang ada di bumi, baik perkara ibadah maupun perkara keduniaan. Alquran adalah sumber utama ajaran Islam, sebagaimana firman Allah swt. “Wahai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah (Alquran) dan rasulNya (hadis) tentang pemimpin kamu, apabila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (masalah), maka kembalilah kamu kepada Allah (Alquran) dan rasul (hadis)…” (Q.S An-nisa[4]: 59). Ayat ini menjadi dasar bahwa Alquran merupakan sumber ajaran Islam yang pertama.[2] Oleh karena itu, setiap muslim wajib mengimani Alquran sebagai sumber ajaran agama yang utama dan pertama.
        Sebagai sumber ajaran utama Islam, Alquran memuat pokok-pokok permasalahan menyangkut tentang kebutuhan umat manusia. Allah swt. tidak melupakan sedikitpun hal-hal yang dibutuhkan manusia di dalam Alquran (Q.S Al-An’am [6]: 38). Alquran menjelaskan dasar-dasar hukum secara terperinci dalam lapangan akidah, tapi dalam lapangan ibadat dan mu’amalah hanya diberikan petunjuk-petunjuknya secara garis besar.[3]

Kedudukan Alquran sebagai sumber ajaran Islam

        Alquran memiliki kedudukan sebagai sumber hukum pertama[4], artinya bila seseorang ingin mencari ketetapan hukum, maka langkah pertama yang harus di tempuh ialah mencari jawaban penyelesaian di Alquran. Karena kedudukannya sebagai sumber hukum Islam pertama, maka sumber hukum Islam yang lain, seperti hadis dan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Alquran.[5]
  Selanjutnya dilihat dari kejelasan makna ayat-ayat, maka ayat-ayat Alquran dapat dikategorikan kepada dua, yaitu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat dengan makna jelas dan langsung sehingga tidak butuh penafsiran dari hadis, sedangkan ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat yang belum jelas, samar, ambigu, atau memiliki makna lain sehingga butuh penafsiran yang jelas dari hadis.[6] Dalam Alquran maupun hadis terdapat banyak kata-kata musytarak, mutaradif, ‘Aam, muthlaq, mujmal dan zhahir sehingga ayat tersebut membutuhkan penafsiran yang lebih detail dari ulama.[7]
Berdasarkan kepada hal tersebut, penjelasan Alquran terhadap hukum dapat terlihat beberapa cara, yaitu; pertama, secara terperinci, Alquran memberikan penjelasan yang sempurna kepada umat Islam dan tidak akan memberikan pemahaman yang lain, sehingga tidak perlu penjelasan dari hadis.
Seperti hukum faraid, hukuman pezina, tata cara wudu. Kedua, penjelasan Alquran terhadap hukum agama masih keuniversalan, sehingga membutuhkan penjelasan dari hadis. Seperti contoh : dalam surat An-nisa[4]: 43, kata-kata  ٵۏﻻﻣﺴﺘberarti menyentuh tangan atau bersetubuh; perintah untuk melaksanakan shalat, perintah ini masih umum, belum ada tatacara shalat, maka kedudukan hadis ialah sebagai penjelas terhadap Alquran. Dan ketiga, menjelaskan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat, tetapi juga memberikan pengertian secara isyarat.

Kedudukan Alquran sebagai mukjizat

       Selain sebagai sumber ajaran, Alquran juga sebagai mukjizat. Secara etimologis, mukjizat berasal dari kata Arab (I’jaz) yang berarti “membuat suatu hal luar biasa yang berada diluar kesanggupan manusia biasa untuk memperbuatnya”.[8] Sedangkan menurut istilah, mukjizat adalah kejadian yang luar biasa yang hanya diberikan kepada nabi dan rasul Allah. Al-baqillah mengatakan bahwa di atas mukjizat Alquran lah kenabian Muhammad saw. ditegakkan. Sekalipun ada mukjizat-mukjizat lain selain Alquran, tapi semua itu berlaku bahkan ada yang khusus untuk suatu kasus tertentu. Justru itu, mukjizat Alquran terkait sangat erat dengan kerasulan Nabi Muhammad saw., dan keraguan terhadapnya akan membawa keraguan pula terhadap keraguan Muhammad itu sendiri.[9]
Nama-Nama lain dari Alquran
Alquran juga memiliki nama-nama lain. Jika dilihat dari penamaannya, ada beberapa nama Alqurran yang biasa disebut sebagai nama-nama lain dari Alquran, yaitu : al-bayyinah (petunjuk), al-furqan (pembeda), al-kitab (kitab), adz-zikir (pemberi peringatan), al-huda (pemberi petunjuk), al-hukum (peraturan), al-hikmah (kebijaksanaan), al-mau’idhah (nasihat), Asy-syifa’ (penyembuh), al-bayan (penerang), al-kalam (perkataan), an-nur (cahaya), dan al-basha’ir (pedoman).[10]

b.  As-sunnah sebagai sumber ajaran
 Menurut bahasa (lughah) sunnah bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji ataupun tidak. Suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamakan sunnah, walaupun tidak baik.[11] Sunnah menurut pendapat muhadditsin (ahli-ahli hadis) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir[12], pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup Nabi saw.  sebelum diangkat menjadi rasul, mapun sesudahnya. Sedangkan menurut Ulama Ahli Ushul Fiqh, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir yang berkaitan dengan hukum. Assunnah merupakan sumber syariah Islam yang nomor dua dan tidak ragu lagi dan menduduki tempat kedua (sesudah Quran suci). Sunnah berarti perilaku atau aturan, sedangkan  makna aslinya ucapan yang disampaikan kepada manusia, baik dengan perantaraan, pendengaran maupun dengan perantaraan wahyu.[13]  merupakan sumber hukum kedua setelah  Alquran[14].
            Hadis ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, terbagi ke dalam tiga macam, yaitu hadis sahih, hadis hasan dan hadis dhaif.[15] Hadis Sahih, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh  Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya tidak bersambung, tidak ber-’illat serta tidak janggal/mungkar. Hadis Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, tetapi tidak begitu kuat ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ber’ilat serta tidak janggal. Serta hadis dha’if, ialah hadis yang kehilangan satu atau beberapa syarat  sahih.
            Selain itu,  juga mengandung tiga bagian penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu; Rawi yaitu orang yang menerima suatu  dan menyampaikan atau menuliskan hadis tersebut dalam sebuah kitab. Misalnya : Bukhari, Muslim, An-Nasai, Abu Dawud, Tirmizi dsb. Matan yaitu materi (isi) dari suatu , baik perkataan, perbuataan atau pembiaran Nabi Saw. atas perbuatan sahabat serta Sanad yaitu rangkaian rawi yang dapat menghubungkan matan  sehingga sampai kepada nabi Muhammad saw. Hal-hal ini sangat perlu dilihat karena  juga dapat dijadikan landasan pengambilan hukum sekiranya hukum tidak didapati secara jelas di dalam Alquran.

Fungsi-Fungsi Hadis

Sebagai sumber ajaran Islam, maka  hadis memiliki fungsi-fungsi:
1.   Menetapkan dan menguatkan hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Alquran. Misalnya kewajiban berpuasa jika melihat bulan (Q.s Al-Baqarah [2]: 185), lalu dikuatkan dengan  yang disampaikan oleh Abu Al-husain Muslim bin Al-Hajjaj al-Qusyairi yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda bahwa “Berpuasalah jika kamu melihat bulan; dan berbukalah jika kamu melihatnya”.[16]
2.      Merinci dan menafsirkan ayat Alquran yang masih global (bayan tafsil), membatasi ayat Alquran masih mutlak/umum (bayan taqyid) dan mengkhususkan ayat Alquran yang masih umum (bayan takhshish). Misalnya perintah salat dan zakat itu bersifat global (Q.S Al-baqarah [2]: 43) sehingga dirincikan dalam hadis, seperti adanya tatacara, waktu-waktu pelaksanaan, syarat sah salat dan zakat, dan sebagainya.[17]
3.    Menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Alquran, misalnya; larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya,[18] seperti  yang artinya “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘amma (saudari bapak)nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)nya” (H.R Bukhari Muslim);  larangan mengawini seorang wanita yang bersaudara sepersusuan karena dia dianggap mahram senasab. Dalam sabdanya “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab” (H.R: Bukhari dan Muslim).

Perbedaan antara Alquran dan  Assunnah

Setelah sedikit membahas tentang Alquran dan sunnah sebagai sumber ajaran dan hukum Islam, maka di antara keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan antara Alquran dengan As-sunnah adalah:
1.        Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya, sedangkan As-sunnah relatif. Tidak ada satu  pun yang bisa menyalahkan kebenaran (isi) Alquran, sekalipun  mutawatir. Seperti dikutip dari oleh A.Hassan kitab Al-Muwaa-faqaat,  disebutkan “Apa yang dikatakan datang daripadaku[19], maka hendaknya kamu uji dia di kitab Allah[20] seandainya sesuai dengan kitab Allah, maka aku telah sabdakan dia, karena bagaimanakah aku berani menyalahi kitab Allah sedangkan dengan kitab itu Allah memberi petunjuk kepadaku” (Al-Muwaa-faqaat karangan Assysyaa-thibi jz. 4 halaman 9).
2.        Semua ayat Alquran bisa dijadikan pedoman hidup, sebaliknya tidak semua hadis bisa dijadikan pedoman hidup. Melihat kepada sejarah dan perkembangan hadis [21] banyak terjadinya pelanggaran, seperti adanya  hadis maudhu’ (palsu) dan hadis mungkar. Hal ini dikarenakan setelah Rasulullah saw. wafat, sedikit demi sedikit Islam mulai kembali ke masa jahiliyah dan banyaknya pendusta, seperti contoh hadis palsu yang artinya “Terong adalah obat segala penyakit”[22].
3.        Alquran sudah terjamin kebenarannya  dan akan terpelihara sampai hari kiamat.[23]
Berdasarkan uraian di atas, maka Penerimaan seorang muslim terhadap Alquran hendaknya didasarkan pada keyakinan yang kuat, sedangkan penerimaan seorang muslim terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan (dugaan-dugaan) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah hadis itu benar-benar berasal dari nabi atau tidak karena adanya proses sejarah kodifikasi hadis yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan terhadap Alquran.

Kedudukan as-sunnah terhadap Alquran

        Para Ulama Islam telah menetapkan bahwa hadis Rasul menjadi hujjah (alasan hukum) dalam agama Islam disamping alasan yang pertama, baik tentang menghalalkan atau mengharamkan. Firman Allah SWT. Dalam Q.s Al-Hasyr [15] : 7 berbunyi:
ومااتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهو
“Hendaklah kamu ambil (ikut) sesuatu yang dibawa oleh Rasul kepadamu dan hendaklah kamu jauhi sesuatu yang dilarang”

        Ayat ini juga menjelaskan bahwa sunnah Nabi menjadi hujjah kedua dalam menetapkan hukum syara.[24]

c.         Ijtihad sebagai sumber hukum
        Secara bahasa ijtihad berarti sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Alquran maupun  dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang.[25]
        Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan ijtihad, sepanjang ia menguasai Alquran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga  berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut ijma’ atau kesepakatan.

Dasar Hukum diperbolehkan Berijtihad

Dasar hukum diperbolehkan berijtihad ialah hadis Rasulullah saw. yang berdialog dengan Mu’az bin Jabal ketika diutus ke Yunan yang diriwayatkan oleh Tirmidhi dan Abu Daud dalam sebuah dialog“Bagaimana cara kamu memutuskan perkara yang dibawa orang kepada kamu?” Muaz menjawab, “Hamba putuskan dengan yang terdapat dalam Kitabullah (Alquran)” Nabi bertanya lagi, “Dan jika tidak mendapati (hukum) dalam Kitabullah?” Mu’az menjawab”Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah”, Nabi pun bertanya lagi, “Jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah dan tidak juga dalam Al-Kitab?” Mu’az menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya dan saya tidak akan lengah, “Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah member taufik kepada utusan Rasul Allah…”[26] Bahkan nabi pernah memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau sendiri ada dihadapan Amr. Atas perintah itu sahabat bertanya “Apakah saya akan berijtihad sedang engkau berada di sini? Nabi menjawab, “Ya, jika kamu benar maka mendapatkan dua pahala, dan jika kamu salah kamu akan mendapat satu pahala.”[27]
Dalam hal penggunaan potensi akal dalam kehidupan beragama, mujtahid merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah muttabi’ dan muqallid. Muttabi’ artinya mengikuti fatwa atau ijma’ secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang, dan membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling benar. Pekerjaan muttabi’ disebut ittiba’. Muqallid artinya mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau diikuti, dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha mengetahui sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan muqallid disebut taqlid. Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan penggunaan potensi akal seoptimal mungkin.
Di dalam melakukan ijtihad, beberapa metode yang bisa digunakan adalah:
1)        Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan hadis dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.[28]
2)        Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Beberapa definisi qiyâs (analogi), yaitu; (1) menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya. (2) membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya. (3) tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh). (4) menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Qur'an dan hadis.[29]Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa sebelumnya.[30]
3)       Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudaratan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.[31]
4)       Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
5)        Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.[32]
6)             Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudu sehingga ia harus berwudu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudu.[33]
7)        Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Alquran maupun hadis tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.[34]

C.      KESIMPULAN      

        Alquran merupakan sumber hukum utama dan pertama dalam Islam,  hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran, sedangkan Itjihad merupakan dasar hukum ketiga dalam Islam. Ditinjau dari segi penafsiran ayat, ayat Alquran terbagi ke dalam dua golongan ayat, yaitu  ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Berdasarkan sah atau tidaknya hadis , maka  hadis terbagi ke dalam tiga jenis. Metode dalam pelaksanaan Ijtihad terbagi ke dalam tujuh  metode, yaitu: ijma’, qiyas, istihsan, Sududz Dzariah, urf’, istishab, dan murshalat murshalah.

DAFTAR PUSTAKA

Luis Ma’luf. al-Munjid fi al-Lughah wa al;’Alam, Beirut: Dar al-Maarif, 1973.

Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013.

A.Hassan. Kitab Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, jil 1-2, Bandung: Diponegoro Bandung, 1968.

Alaiddin Kotto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014.

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung. 2010.

Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir juz 1 Al-fatihah-Al-Baqarah, Bandung: Sinar Baru  Algensindo, 2000.

Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir juz 5 An-Nisa 24 s.d An-Nisa 147, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000.

M. Agus  Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), Jakarta : Darul Kutubil  Islamiyah, 2001.

Nazar Bakry,  Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali pers,1993.

T.M. Hasbi Ash-shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu T. Semarang: PTPustaka Riski Putra, 2009.

www.id.wikipedia.org/wiki/ijtihad diakses pada 27 Oktober 2014.



     [1] Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir juz 1 Al-fatihah-Al-Baqarah, (Bandung: Sinar Baru     Algensindo, 2000) hlm. 195
     [2] Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir juz 5An-Nisa 24 s.d An-Nisa 147, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000) hlm. 273-276
     [3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) hlm. 62
     [4] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan.... hlm 137
     [5] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan ...hlm. 28.
     [6]www.id.wikipedia.org/wiki/ayat, diakses 26 Oktober 2014
     [7] Baca buku Kitab Soal-Jawab 1-2 tentang berbagai masalah agama,  karangan A.HASSAN halaman 14-15. Musytarak adalah perkataan yang dari dasar bahasa memiliki banyak arti dan sama banyak pemakaiannya, contohnya kata “ain” berarti mata, diri, mata air, mata-mata. Mutaradif ialah beberapa kata yang maknanya sama, misalnya kata “dar” berarti ‘rumah’ sama makna dengan baitun, manzilun. Muthlaq artinya suatu lafal yang jika diucapkan akan terkena kepada semua jenis tersebut, tetapi yang dituju hanya kepada satu atau sebagaian orang aja. Misalnya kata “mu’min” artinya seorang mukmin. ‘Aam artinya umum, yaitu satu perkataan yang artinya tertuju kepada semua yang ada dalam satu-satu jenis tanpa kecuali. Contohnya kata “Al-mukminun”. Mujmal yaitu satu susunan yang mempunyai arti lebih dari satu makna yang penggunaannya sama banyak. Misalnya dikatakan “usaplah”, maknanya dapat dituju dalam usap sedikit, usap banyak. Dua-dua makna tersebut penggunaannya sama banyak. Zhahir adalah satu lafal yang mempunyai dua arti atau lebih, tetapi lebih sering digunakan salah satu dari dua arti tersebut. Contohnya kata “yadun” berarti tangan, kekuasaan atau diri, tetapi seringkali artinya tangan.
     [8] Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al;’Alam, (Beirut: Dar al-Maarif, 1973) hlm. 488.
     [9] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) hlm. 59.
     [10] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010) hlm. 70.
     [11] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah&Pengantar Ilmu Hadist, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2009) hlm. 24-25.
     [12] Taqrir ialah perbuatan yang dilakukan sahabat dihadapan Nabi Muhammad saw. dan beliau mengetahuinya, nabi tidak melarang dan tidak pula menyuruhnya.
     [13] Jadi, Quran disebut juga hadis karena kata “sunnah” digunakan oleh Quran dalam arti umum, yaitu cara atau aturan.
     [14] Lihat penjelasan dari Q.s An-nisa [4] : 59
     [15] M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hlm. 141.
     [16] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi.... hlm.87  
     [17] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013) hlm. 76.
     [18] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi.... hlm.88
     [19] Maksudnya Alhadis.
     [20] Maksudnya Alquran.
     [21]Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah&... hlm. 24-25
     [22] Hadis ini digunakan untuk mencari keuntungan semata. Alangkah durhakanya orang yang memalsukan hadis ini. Padahal firman Allah dalam Alquran yang artinya “Janganlah kamu menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit”. Orang ini sangat berani memalsukan hadis dengan lidahnya yang maha berani menelan api, kemudian di aku-akukannya kepada Nabi Muhammad saw. Maka dengan hati yang terpaksa saya harus mengancam orang itu dengan dalil seperti ini. “Telah berkata Ali bahwa Rasullah saw. pernah bersabda : Jangan kamu berdusta atas namaku…, karena barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaklah dia bersedia mengambil tempatnya di neraka”. (H.Sahih .R : Bukhari, Muslim dan Tirmidhi)
     [23] Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir .... hlm. 195
     [24] Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh,(Jakarta:Rajawali pers,1993), hlm.44.
     [25]http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad , diakses pada 27 Oktober 2014
     [26] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam),  (Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2001) hlm.103
     [27] Alaiddin Koto,  Ilmu Fiqh …hlm 25-26
     [28] http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad, diakses pada 27 Oktober 2014.
     [29] Ibid
     [30] Ibid
     [31] Ibid
     [32] Ibid
     [33] Ibid
     [34] Ibid

Share with your friends

Give us your opinion

Bijaklah dalam Memberikan Komentar !

Notifikasi
Belum ada notififikasi terbaru.
Done