PENGARUH KEBUDAYAAN PRA ISLAM TERHADAP BUDAYA ACEH BERBASIS SYARIAT ISLAM
Rafi Mariska
Salma Hayati S.Ag., M.Ed
Abstrak
Artikel ini membahasa tentang Pengaruh
Kebudayaan Islam Terhadap Budaya Aceh Berbasis Syariat Islam. Ketika semakin
modernnya bangsa Indonesia, muncul lah kepercayaan baru dari kepercayaan anisme
(yaitu kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda) dan dinamisme (yaitu
kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan dan tenaga yang dapat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan
hidup) berubah menjadi kepercayaan Hindu-Buddha yang lebih dikenal dengan
istilah Pengaruh Hindu-Buddha.
Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha masuk ke Indonesia sebagai kebudayaan India akibat adanya kontak perdagangan. Hindu-Buddha mulai berkembang di Aceh. Hal ini ditandai dengan adanya bangunan-bangunan bercorak Hindu-Buddha, kepercayaan Hindu-Buddha, arca dan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Namun kepercayaan ini pun mulai runtuh ketika munculnya pengaruh Islam di Aceh. Islam lebih berkembang dan maju di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, yaitu ajaran yang lebih rasional dan tidak mengenal sistem kasta. Namun demikian, masuknya budaya Islam di Aceh tidak menghilangkan seluruh kebudayaan lama, seperti kebudayaan Hindu-Buddha dan kebudayaan lokal sehingga terjadilah perpaduan budaya yang lebih dikenal dengan istilah sinkretisme budaya. Perpaduan kebudayaan tersebut awalnya melahirkan suatu budaya baru yang masih bersifat mistis dan syirik, namun lama-kelamaan ulama mencocokkan budaya tersebut dengan Syariat Islam dengan cara mengganti sistem upacara adat masyarakat lokal, seperti membaca mantra diubah menjadi membaca doa-doa, syukuran dan membaca ayat-ayat Alquran, mengucapkan Basmalah sebelum bertarung ayam supaya menang. Ini juga salah satu faktor mudahnya Islam diterima oleh masyarakat pribumi Aceh. Dari sinkretisme budaya, ada beberapa pengaruh budaya pra-Islam yang mesti dijauhkan oleh muslim seperti takhayul, mendatangi tukang-tukang tenung, dan sebagainya.
Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha masuk ke Indonesia sebagai kebudayaan India akibat adanya kontak perdagangan. Hindu-Buddha mulai berkembang di Aceh. Hal ini ditandai dengan adanya bangunan-bangunan bercorak Hindu-Buddha, kepercayaan Hindu-Buddha, arca dan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Namun kepercayaan ini pun mulai runtuh ketika munculnya pengaruh Islam di Aceh. Islam lebih berkembang dan maju di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, yaitu ajaran yang lebih rasional dan tidak mengenal sistem kasta. Namun demikian, masuknya budaya Islam di Aceh tidak menghilangkan seluruh kebudayaan lama, seperti kebudayaan Hindu-Buddha dan kebudayaan lokal sehingga terjadilah perpaduan budaya yang lebih dikenal dengan istilah sinkretisme budaya. Perpaduan kebudayaan tersebut awalnya melahirkan suatu budaya baru yang masih bersifat mistis dan syirik, namun lama-kelamaan ulama mencocokkan budaya tersebut dengan Syariat Islam dengan cara mengganti sistem upacara adat masyarakat lokal, seperti membaca mantra diubah menjadi membaca doa-doa, syukuran dan membaca ayat-ayat Alquran, mengucapkan Basmalah sebelum bertarung ayam supaya menang. Ini juga salah satu faktor mudahnya Islam diterima oleh masyarakat pribumi Aceh. Dari sinkretisme budaya, ada beberapa pengaruh budaya pra-Islam yang mesti dijauhkan oleh muslim seperti takhayul, mendatangi tukang-tukang tenung, dan sebagainya.
Kata Kunci : Budaya, Pengaruh Kebudayaan, syirik, Syariat Islam.
A. PENDAHULUAN
Aceh memiliki banyak peninggalan
kebudayaan, baik itu kebudayaan Islam, praislam atau juga kebudayaan dinamisme
dan animisme. Kebudayaan tersebut jika dipandang dari segi syariat Islam
memiliki banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syariat Islam. Sejak
pertama masuknya Hindu-Buddha di Aceh muncul kebudayaan yang bersifat pemujaan
terhadap dewa. Kebudayaan ini lama
kelamaan mulai memudar seiring datangnya pengaruh Islam. Namun, kebudayaan
tersebut mengalami akulturasi dengan budaya Islam sehingga lama kelamaan sulit
untuk ditinggalkan. Budaya-budaya tersebut bertentangan dengan syariat Islam.
A. Pengaruh Budaya Pra Islam terhadap Budaya Aceh yang berbasis syariat Islam
Aceh memang identik dengan Seuramoe Mekah (=Serambi Mekah). Hal ini
dikarenakan Aceh sejak masa Kerajaan Aceh selalu menjalankan syariat Islam.
Dahulu, raja-raja Aceh menjalankan pemerintahan didampingi oleh Ulama-Ulama,
sehingga terdapat satu istilah populer “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah
Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam
bak Laksamana.” Yang artinya hukum adat ditangan
pemerintah dan hukum agama atau syariat ada di tangan para ulama, seperti
peranan besar Syeih Abdur Rauf Asyingkili pada masa Kerajaan Aceh sehingga
terciptanya budaya-budaya Islami. Namun, tidak semua budaya di Aceh murni
berdasarkan syariat Islam, ada beberapa budaya Aceh yang sampai saat ini masih
sinkretisme antara budaya Hindu dengan Budaya Islam seperti yang akan diuraikan
sebagai berikut.
1.
Perayaan
Rabu Abeh di Barat-Selatan
Ritual “Rabu Abeh” atau disebut dengan
“Tolak Bala” merupakan sebuah tradisi masyarakat Aceh setiap tahun untuk
menjauhi masyarakat Aceh dari musibah, baik bencana alam maupun kenyamanan
untuk masyarakat. Bulan Sapha dalam bahasa Aceh atau lebih dikenal dengan bulan
Safar merupakan bulan yang identik dengan Rabu Abeh (Rabu akhir). Rabu abeh
dilaksanakan pada hari terakhir bulan Safar. Ada beberapa alasan kenapa
diadakan Rabu Abeh, bahwa pada bulan Safar tersebut Nabi Muhammad Saw. mulai
terkena sakit dan tidak lama kemudian pada bulan ketiga pada tahun itu, beliau
wafat. Sebagian besar masyarakat Aceh percaya bahwa pada bulan Safar mengandung
bencana, seperti pilek, flu, demam, demam berdarah (DBD) dan sebagainya. Oleh
karena itu, masyarakat bersyukur jika selamat sampai hari Rabu terakhir pada
bulan itu. Bentuk kesyukuran masyarakat Aceh ialah dengan cara berpergian ke
laut atau sekedar berlibur, melakukan doa bersama dipinggir pantai dan membawa
bekalan untuk dimakan bersama-sama dengan keluarga. Puncak pada perayaan ritual
Rabu Abeh tersebut adalah ketika menghanyutkan sesajen yang berupa nasi, sayur,
lauk-pauk, dan buah-buahan kemudian dihanyutkan ke air laut. Ada juga yang menghanyutkan kepala
kerbau.
Masyarakat percaya akan diberikan
keberkahan dan rezeki, dan terhindar dari segala marabahaya sehingga masyarakat
Aceh dapat hidup tenang dan tenteram. Ritual ini digelar setiap tahun dan
diyakini mampu menolak bala, dan ajang nazar bagi sejumlah warga.[1]
2.
Pantangan-pantangan
Berlaut (meulaot)
Pantang pergi ke laut 2 hari 1 hari
kenduri laot dan 1 hari tiap-tiap hari jumat mulai jam 6 pagi sampai jam 6 sore
kecuali keadaan bahaya. n, hari Jumat dilarang menangkap ikan dengan
pukat. Cara lain boleh dilakukan pada hari itu, tetapi dengan pukat tidak
dibenarkan, Hari Jumat digunakan sebagai hari gajian, dimana para awak pukat
menerima hasil jerih payah selama seminggu melaut. Hari itu juga dimanfaaatkan
untuk memperbaiki jaring pukat yang rusak, mencelup pukat dengan getah kulit
bakau “kulet bangka” dan menempel
perahu yang dianggap bocor.
Ada ucapan-ucapan yang pantang
dilakukan di laot, seperti menyebut nama gunung, sebab ombak setinggi gunung
akan menghempas mereka, juga tidak boleh menyebut tanah manyang (tanah tinggi), dan juga pantang menyebut kata “lheuh” (Iepas) sebab ikan yang sudah
tertangkap dapat lepas kembali,maka dipakai kata lain yang kurang bahaya yakni
“leukang”untuk menyatakan hal yang
harus dilepaskan digunakan kata “leupah”
yang berarti bebas.
Ada sejumlah kata-kata yang berbahaya
kalau diucapkan di laut. Ini berlaku pula untuk para Nelayan yang memakai
pukat, dan sebagian untuk semua pelaut. Pantangan yang tidak tertulis itu
tersebar luas, terutama dikalangan nelayan di pulau Jawa bahkan juga berlaku
bagi banyak orang yang harus diindahkan kalau berburu. Di sekitar galuh yang
kuno itu ada beberapa tempat dilautan selama menangkap ikan tidak boleh
mengucapkan kalimat syahadat walaupun hanya sebagian, sebab ruh-ruh kerajaan
berhala dahulu dapat menjadi gelisah.[2]
3.
Kanuri
Laot
Waktu yang dipilih untuk “kanduri”
(yang oleh para Nelayan pukat diharapkan akan memberikan keberuntungan yang
sama seperti kanuri blang diadakan
oleh para petani). Kanuri laot pada
masa lalu dilakukan pada saat penangkapan ikan terpaksa dihentikan disebabkan cuaca
buruk, yakni perubahan dari musim timur ke musim barat. Waktu inilah yang
dimanfaatkan oleh Nelayan dipesisir utara dan timur Aceh, misalnya daerah
pantai Ule lheue di bagi dua untuk para Nelayan pukat yang satu mengadakan kenduri
dalam keunong 17, pada awal musim
Barat (kira-kira bulan April), sedangkan yang lain dalam keunong 5, pada awal musim Timur (kira-kira September).
Pelaksanaan kanuri laot, ada sesuatu yang unik, yaitu kepala kerbau isi dalam
dan tulang belulang dibungkus dengan kulit kerbau sembelihkan kemudian
dibawa dengan perahu berbendera merah kemudian ditenggelam kan ke laot dalam
jarak yang tidak terlalu jauh dari pantai. Setelah tulang tenggelam
bendera diganti dengan warna putih sekaligus mengisyaratkan para undangan di daratan
sudah dapat memulai menyantap hidangan yang disediakan. Menurut kepercayaan,
para Nelayan bungkusan tulang belulang kerbau itu akan dikerumi oleh ikan dan
menjadi santapannya. Selama masih belum hilang maka tulang belulang akan
menjadi rumah ikan. Selama tujuh hari setelah kenduri tadi, disekitar belulang
ditenggelamkan siapapun tidak dibolehkan menangkap ikan disekitar belulang yang
ditenggelamkan. Karena lokasi itu merupakan tempat untuk ikan-ikan bermain di
lhok itu, bertelur dan menetaskan telurnya.
Pantangan tersebut seperti dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri
berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak dibenarkan untuk melaut yaitu
pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat Jumat, bila
nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul
08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha
dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga,
dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang mengalami
kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai penguburan.[3]
4.
Upacara
Peusijuek
Kata peusijuek (=men-dinginkan) barasal dari akar kata sijue’ yang berarti dingin. Dingin
atau sejuk, dalam negeri-negeri tertentu di daerah tropis berarti juga:
kebahagiaan, ketentraman, kedamaian panas (bahasa Aceh: seu’uem) adalah
serupa dengan menimbulkan bencana. Jika seseorang memperoleh pengaruh-pengaruh
“panas” atau sedang berada dalam keadaan demikian, maka orang itu akan mencari
obat-obat pendingin untuk menghilangkan atau menolak pengaruh-pengaruh panas
itu. Pada setiap umurnya, manusia tidak terlepas dari pengaruh itu; oleh
karenanya peusijue” itu
dilakukan pada seluruh umur. Sebagai obat pendingin termasuk juga beras (bahasa
Aceh:breueh) dan padi (bahasa Aceh: padè), 2 butir telur mentah dan
semangkok air yang dibubuhi kedalamnya tepung beras sedikit (bahasa
Aceh: teupông taweue). Dalam air itu dimasukkan juga tumbuh-tumbuhan yang
bersifat dingin, yaitu: ôn sisijue’, ôn
manè’ manoe dan naleueng sambô; kadang kala dimasukkan
juga ôn kala dan ôn pineueng mirah. Tumbuh-tumbuhan itu diikat
menjadi sebuah berkas kecil dan dengan itu dipercikkanlah orang yang hendak
didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut disuntingkan (bahasa
Aceh: peusunténg) ketan kuning di belakang daun telinganya (Van
Waardenburg, 1936: 3).[4]
Selain itu, biasanya
acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk
syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan
dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Menurut Husin (1970)
semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada
Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan
harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain
itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada
sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).[5]
Beberapa pakar sejarah Aceh
menyebutkan bahwa Peusijuk merupakan
salah satu peninggalan kebudayaan Hindu. Sejak masuknya Islam ke daratan Aceh,
sebagian kebiasaan atau adat masyarakat Aceh yang dianggap tidak bertentangan
dengan Islam masih dilestarikan dan diperbolehkan oleh para ulama pada zaman
awal Islam di Aceh. Sebagian praktik-praktik animisme dan ajaran Hindu juga
masih diizinkan untuk dipraktikkan dengan mengubah ritual-ritual tersebut
sesuai dengan ajaran Islam, misalnya jika dulu Peusijuk menggunakan jampi-jampi atau mantra, maka sekarang
digantikan dengan membacakan doa keselamatan dan keberkahan untuk orang yang
akan di-Peusijuk. Dalam
perjalanannya, budaya Peusijuk ini
mendapat banyak sorotan dari ulama-ulama reformis. Peusijuk dianggap syirik dan tidak ada dasarnya dalam Al
Qur’an dan hadist. Pertentangan terjadi antara ulama reformis dan ulama
tradisional yang masih melakukan tradisi ini dalam kesehariannya. Nyatanya,
sampai sekarang, Peusijuek masih terus bertahan dan dilestarikan
keberadaannya oleh masyarakat Aceh, sebagai sebuah budaya Islam. Mantra-mantra
telah diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab atau disesuaikan dengan momen
dari Peusijuek tersebut. Peusijuek masih dilakukan baik oleh
perorangan maupun kelompok.[6]
Begitu juga acara belah kelapa saat peutreun
aneuk miet (membawa keluar rumah bayi pertama kali) juga merupakan
tradisi-tradisi Hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat
Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata
cara berpakain Hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang.
Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam Islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan
cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada
cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan budaya Hindu.
Pemotongan
ayam putih dan ayam hitam pada daka ( pintu air ) tambak oleh petani tambak
sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu yang masih dilakukan
sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam
tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan
lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam
pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau
batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu. Kini
acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum
tambak panen.[7]
Tari
Seudati adalah nama tarian yang berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Seudati berasal dari kata syahadat, yang berarti bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori
tribal war dance atau tari perang, yang syairnya berusaha membangkitkan
semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh karena itu,
tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi, sekarang
tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi kesenian nasional Indonesia.[8]
Penulis pernah bertanya langsung
kepada petuah gampong bahwa
disebagian desa di daerah pedalaman, sebagian masyarakat Aceh juga mempercayai
bahwa azimat, takhayul, meminta bantuan kepada kuburan keramat dan hal-hal yang
berbau mistis lainnya. Sebagai contoh masyarakat masih pergi ke tukang tenung
untuk menanyakan hal-hal ghaib, seperti
kehilangan barang berharga. Padahal secara syariat Islam, perbuatan
seperti ini merupakan perbuatan syirik dan syirik itu ialah salah satu dosa
besar yang dapat tertolaknya ibadah seorang hamba terhadap Allah selama 40 hari
40 malam. Nabi Muhammad Saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim yang artinya “Barangsiapa yang
datang kepada satu tukang tenung, kemudian dia percaya yang disampaikannya,
maka tidak akan diterima shalatnya empat puluh hari”. Kemudian dalam hadis
Ibnu Hibban yang lain Nabi Muhammad Saw. juga bersabda yang artinya “Sesungguhnya jampi-jampian dan
tangkal-tangkal dan tiwalah itu menjadikan musyrik”.[9]
Dengan memperhatikan hadis shahih tersebut, seorang muslim harus
menghindari perbuatan-perbuatan yang jauh dari anjuran syariat Islam, jauh dari
hal-hal berbau mistis. Jangan membenarkan kebiasaan, tetapi biasakanlah
kebenaran.
Faktor-faktor Budaya Islam lebih mudah berkembang di Aceh daripada budaya pra Islam lain[10]
Menurut Karwadi, dkk (82) dikatakan
bahwa ada enam faktor Islam lebih mudah diterima di kalangan masyarakat
Hindu-Budha waktu itu. Keenama faktor tersebut yaitu :
1. Syarat untuk memeluk agama Islam sangat
mudah.
Syarat masuk Islam
sangat mudah, hanya dengan mengucapkan kedua kalimat Syahadat sesorang bisa
masuk Islam. Dikutip dari laman http://bali.paduanwisata.id
disebutkan bahwa Upacara Sudhi Wadhani
ialah upacara untuk mengukuhkan atau mengesahkan dan janji seseorang yang
pindah agama menjadi memeluk agama Hindu yang didasari oleh keikhlasan tanpa
paksaan dari siapapun.[11]
Adapun sarana
dalam Upacara Sudhi Wadhani ditetapkan menjadi 3 tingkatan yakni:
– Upacara kecil, dan yang menjadi sarananya adalah; a)
bunga, b) bija, c) air, d) api/dupa.
– Upacara sedang/ madyama, yang menjadi sarana
upacaranya ialah; a) bunga, b) bija, c) basma air cendana, d) dupa.
– Upacara besar, dan yang menjadi sarananya ialah; a)
byakala, b) prayascita, c) tataban, d) api/ dupa.
Adapun semua
sarana/ sesajen ditata dan disesuaikan dengan keadaan masing-masing, karena
unsur keindahan ialah salah satu pendukung kemantapan prilaku. Selain itu juga
membantu untuk mengarahkan dan menuntut pikiran manusia untuk senantiasa memuja
Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala kemenangan dan
kedamaian.
2. Para saudagar maupun ulama dalam
menyampaikan Islam menggunakan pendekatan dakwah yang simpatik.
Ketika para
saudagar atau ulama dari Arab, India dan Persia datang ke Indonesia untuk
membawa Islam, mereka melakukan pendekatan terhadap masyarakat lokal. Misalnya
dalam upacara membaca mantra diubah dengan bacaan doa kepada Allah, dan
berselawat kepada nabi, sehingga lama kelamaan akan menjauhkan mereka dari
ajaran Hindu-Buddha sehingga Islam akan mudah diterima oleh Islam.
3. Ajaran Islam tidak mengenal pembedaan
derajat manusia berdasarkan kasta/gelar sehingga menarik minat masyarakat pada
umumnya.
Dalam Islam
tidak ada perbedaan antara satu muslim dengan muslim yang lain kecuali
ketakwaannya. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang adil, seseorang akan
menjadi teungku, kiyai atau ulama sekali pun tanpa memandang kasta. Jauh
berbeda dengan agama Hindu yang memandang sistem kasta, sehingga kasta Waisa
tidak akan bisa menjadi kasta Brahmana.
B. KESIMPULAN
Agama Hindu-Buddha datang ke Indonesia
melalui jalur perdagangan. Kedatangan agama Hindu-Buddha meninggalkan
kebudayaan-kebudayaan yang masih bersifat pemujaan terhadap roh dan dewa.
Kedatangan agama Hindu-Buddha ini juga mengalami akulturasi dengan budaya lokal
Aceh (animisme dan dinamisme). Setelah berkembang agama Hindu-Buddha, muncul
lah agama Islam melalui jalur perdagangan. Akulturasi antara kebudayaan Islam
dengan Hindu-Budha melahirkan kebudayaan baru. Sebagian kebudayaan-kebudayaan
tersebut bertentangan dengan hukum syariat Islam. kebudayaan-kebudayaan yang
bertentengan dengan Islam, seperti pemujaan
terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat
dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, percaya kepada
hal-hal yang berbau mistis, percayaan kepada tukang-tukang tenung, masyarakat
Aceh juga mempercayai bahwa azimat, takhayul, dan meminta bantuan kepada
kuburan keramat.
C. DAFTAR PUSTAKA
A.HASSAN, Kitab Soal Jawab 1-2 Terhadap Berbagai Masalah Agama, Bandung: Penerbit Diponegoro Bandung,
2007.
Husni Thoyar, Pendidikan Agama
Islam untuk SMP Kelas IX, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan Nasional, 2011.
Karwadi, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas IX,
Jakarta:Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian
Pendidikan, 2011.
[1]http://diliputnews.com/read/16409/masyarakat-aceh-barat-gelar-ritual-rabu-abeh.html
diakses pada 24 Januari 2015.
[3]http://chaerolriezal.blogspot.com/2013/01/pengaruh-kebudayaan-hindu-dan-budha-di.html diakses pada 29 Desember 2014.
[4]http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/2013/12/19/peusijuek-dalam-masyarakat-aceh/
diakses pada 25Januari 2015.
[6]http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/06/07/peusijuektradisi-warisan-leluhur-masyarakat-aceh-566658.html
diakses pada 17 Januari 2015.
[7]http://iskandarnorman.blogspot.com/2008/05/tradisi-hindu-dalam-budaya-aceh.html
diakses pada 25 Januari 2015.
[11]http://bali.panduanwisata.id/festival/upacara-sudhi-wadhani-bagi-pemeluk-baru-agama-hindu/
diakses pada 26 Januari 2015