Artikel Pengaruh Kebudayaan Pra Islam terhadap Budaya Aceh Berbasis Syariat Islam - Kimia dan Pendidikan
News Update
Loading...

Monday, 4 July 2016

Artikel Pengaruh Kebudayaan Pra Islam terhadap Budaya Aceh Berbasis Syariat Islam

PENGARUH KEBUDAYAAN PRA ISLAM TERHADAP BUDAYA ACEH BERBASIS SYARIAT ISLAM

Rafi Mariska
Salma Hayati S.Ag., M.Ed
Mesjid Indrapuri sebagai  peninggalan budaya hinduisme

Abstrak
          Artikel ini membahasa tentang Pengaruh Kebudayaan Islam Terhadap Budaya Aceh Berbasis Syariat Islam. Ketika semakin modernnya bangsa Indonesia, muncul lah kepercayaan baru dari kepercayaan anisme (yaitu kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda) dan dinamisme (yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan dan tenaga yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup) berubah menjadi kepercayaan Hindu-Buddha yang lebih dikenal dengan istilah Pengaruh Hindu-Buddha.
Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha masuk ke Indonesia sebagai kebudayaan India akibat adanya kontak perdagangan. Hindu-Buddha mulai berkembang di Aceh. Hal ini ditandai dengan adanya bangunan-bangunan bercorak Hindu-Buddha, kepercayaan Hindu-Buddha, arca dan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Namun kepercayaan ini pun mulai runtuh ketika munculnya pengaruh Islam di Aceh. Islam lebih berkembang dan maju di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, yaitu ajaran yang lebih rasional dan tidak mengenal sistem kasta. Namun demikian, masuknya budaya Islam di Aceh tidak menghilangkan seluruh kebudayaan lama, seperti kebudayaan Hindu-Buddha dan kebudayaan lokal sehingga terjadilah perpaduan budaya yang lebih dikenal dengan istilah sinkretisme budaya. Perpaduan kebudayaan tersebut awalnya melahirkan suatu budaya baru yang masih bersifat mistis dan syirik, namun lama-kelamaan ulama mencocokkan budaya tersebut dengan Syariat Islam dengan cara mengganti sistem upacara adat masyarakat lokal, seperti membaca mantra diubah menjadi membaca doa-doa, syukuran dan membaca ayat-ayat Alquran, mengucapkan Basmalah sebelum bertarung ayam supaya menang. Ini juga salah satu faktor mudahnya Islam diterima oleh masyarakat pribumi Aceh. Dari sinkretisme budaya, ada beberapa pengaruh budaya pra-Islam yang mesti dijauhkan oleh muslim seperti takhayul, mendatangi tukang-tukang tenung, dan sebagainya.
Kata Kunci : Budaya, Pengaruh Kebudayaan, syirik, Syariat Islam.

A.    PENDAHULUAN

 Aceh memiliki banyak peninggalan kebudayaan, baik itu kebudayaan Islam, praislam atau juga kebudayaan dinamisme dan animisme. Kebudayaan tersebut jika dipandang dari segi syariat Islam memiliki banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syariat Islam. Sejak pertama masuknya Hindu-Buddha di Aceh muncul kebudayaan yang bersifat pemujaan terhadap dewa.  Kebudayaan ini lama kelamaan mulai memudar seiring datangnya pengaruh Islam. Namun, kebudayaan tersebut mengalami akulturasi dengan budaya Islam sehingga lama kelamaan sulit untuk ditinggalkan. Budaya-budaya tersebut bertentangan dengan syariat Islam.

A.    Pengaruh Budaya Pra Islam terhadap Budaya Aceh yang berbasis syariat Islam

        Aceh memang identik dengan Seuramoe Mekah (=Serambi Mekah). Hal ini dikarenakan Aceh sejak masa Kerajaan Aceh selalu menjalankan syariat Islam. Dahulu, raja-raja Aceh menjalankan pemerintahan didampingi oleh Ulama-Ulama, sehingga terdapat satu istilah populer Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.” Yang artinya hukum adat ditangan pemerintah dan hukum agama atau syariat ada di tangan para ulama, seperti peranan besar Syeih Abdur Rauf Asyingkili pada masa Kerajaan Aceh sehingga terciptanya budaya-budaya Islami. Namun, tidak semua budaya di Aceh murni berdasarkan syariat Islam, ada beberapa budaya Aceh yang sampai saat ini masih sinkretisme antara budaya Hindu dengan Budaya Islam seperti yang akan diuraikan sebagai berikut.

   1.      Perayaan Rabu Abeh di Barat-Selatan

          Ritual “Rabu Abeh” atau disebut dengan “Tolak Bala” merupakan sebuah tradisi masyarakat Aceh setiap tahun untuk menjauhi masyarakat Aceh dari musibah, baik bencana alam maupun kenyamanan untuk masyarakat. Bulan Sapha dalam bahasa Aceh atau lebih dikenal dengan bulan Safar merupakan bulan yang identik dengan Rabu Abeh (Rabu akhir). Rabu abeh dilaksanakan pada hari terakhir bulan Safar. Ada beberapa alasan kenapa diadakan Rabu Abeh, bahwa pada bulan Safar tersebut Nabi Muhammad Saw. mulai terkena sakit dan tidak lama kemudian pada bulan ketiga pada tahun itu, beliau wafat. Sebagian besar masyarakat Aceh percaya bahwa pada bulan Safar mengandung bencana, seperti pilek, flu, demam, demam berdarah (DBD) dan sebagainya. Oleh karena itu, masyarakat bersyukur jika selamat sampai hari Rabu terakhir pada bulan itu. Bentuk kesyukuran masyarakat Aceh ialah dengan cara berpergian ke laut atau sekedar berlibur, melakukan doa bersama dipinggir pantai dan membawa bekalan untuk dimakan bersama-sama dengan keluarga. Puncak pada perayaan ritual Rabu Abeh tersebut adalah ketika menghanyutkan sesajen yang berupa nasi, sayur, lauk-pauk, dan buah-buahan kemudian dihanyutkan ke  air laut. Ada juga yang menghanyutkan kepala kerbau.
          Masyarakat percaya akan diberikan keberkahan dan rezeki, dan terhindar dari segala marabahaya sehingga masyarakat Aceh dapat hidup tenang dan tenteram. Ritual ini digelar setiap tahun dan diyakini mampu menolak bala, dan ajang nazar bagi sejumlah warga.[1]

    2.      Pantangan-pantangan Berlaut (meulaot)

          Pantang pergi ke laut 2 hari 1 hari kenduri laot dan 1 hari tiap-tiap hari jumat mulai jam 6 pagi sampai jam 6 sore kecuali  keadaan bahaya. n, hari Jumat dilarang menangkap ikan dengan pukat. Cara lain boleh dilakukan pada hari itu, tetapi dengan pukat tidak dibenarkan, Hari Jumat digunakan sebagai hari gajian, dimana para awak pukat menerima hasil jerih payah selama seminggu melaut. Hari itu juga dimanfaaatkan untuk memperbaiki jaring pukat yang rusak, mencelup pukat dengan getah kulit bakau “kulet bangka” dan menempel perahu yang dianggap bocor.
          Ada ucapan-ucapan yang pantang dilakukan di laot, seperti menyebut nama gunung, sebab ombak setinggi gunung akan menghempas mereka, juga tidak boleh menyebut tanah manyang (tanah tinggi), dan juga pantang menyebut kata “lheuh” (Iepas) sebab ikan yang sudah tertangkap dapat lepas kembali,maka dipakai kata lain yang kurang bahaya yakni “leukang”untuk menyatakan hal yang harus dilepaskan digunakan kata “leupah” yang berarti bebas.
          Ada sejumlah kata-kata yang berbahaya kalau diucapkan di laut. Ini berlaku pula untuk para Nelayan yang memakai pukat, dan sebagian untuk semua pelaut. Pantangan yang tidak tertulis itu tersebar luas, terutama dikalangan nelayan di pulau Jawa bahkan juga berlaku bagi banyak orang yang harus diindahkan kalau berburu. Di sekitar galuh yang kuno itu ada beberapa tempat dilautan selama menangkap ikan tidak boleh mengucapkan kalimat syahadat walaupun hanya sebagian, sebab ruh-ruh kerajaan berhala dahulu dapat menjadi gelisah.[2]

    3.      Kanuri Laot

          Waktu yang dipilih untuk “kanduri” (yang oleh para Nelayan pukat diharapkan akan memberikan keberuntungan yang sama seperti kanuri blang diadakan oleh para petani). Kanuri laot pada masa lalu dilakukan pada saat penangkapan ikan terpaksa dihentikan disebabkan cuaca buruk, yakni perubahan dari musim timur ke musim barat. Waktu inilah yang dimanfaatkan oleh Nelayan dipesisir utara dan timur Aceh, misalnya daerah pantai Ule lheue di bagi dua untuk para Nelayan pukat yang satu mengadakan kenduri dalam keunong 17, pada awal musim Barat (kira-kira bulan April), sedangkan yang lain dalam keunong 5, pada awal musim Timur (kira-kira September).
          Pelaksanaan kanuri laot, ada sesuatu yang unik, yaitu kepala kerbau isi dalam dan tulang belulang dibungkus dengan  kulit kerbau sembelihkan kemudian dibawa dengan perahu berbendera merah kemudian ditenggelam kan ke laot dalam jarak yang tidak  terlalu jauh dari pantai. Setelah tulang tenggelam bendera diganti dengan warna putih sekaligus mengisyaratkan para undangan di daratan sudah dapat memulai menyantap hidangan yang disediakan. Menurut kepercayaan, para Nelayan bungkusan tulang belulang kerbau itu akan dikerumi oleh ikan dan menjadi santapannya. Selama masih belum hilang maka tulang belulang akan menjadi rumah ikan. Selama tujuh hari setelah kenduri tadi, disekitar belulang ditenggelamkan siapapun tidak dibolehkan menangkap ikan disekitar belulang yang ditenggelamkan. Karena lokasi itu merupakan tempat untuk ikan-ikan bermain di lhok itu, bertelur dan menetaskan telurnya.
          Pantangan tersebut seperti dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai penguburan.[3]

    4.      Upacara Peusijuek

          Kata peusijuek (=men-dinginkan) barasal dari akar kata sijue’ yang berarti dingin. Dingin atau sejuk, dalam negeri-negeri tertentu di daerah tropis berarti juga: kebahagiaan, ketentraman, kedamaian panas (bahasa Aceh: seu’uem) adalah serupa dengan menimbulkan bencana. Jika seseorang memperoleh pengaruh-pengaruh “panas” atau sedang berada dalam keadaan demikian, maka orang itu akan mencari obat-obat pendingin untuk menghilangkan atau menolak pengaruh-pengaruh panas itu. Pada setiap umurnya, manusia tidak terlepas dari pengaruh itu; oleh karenanya peusijue” itu dilakukan pada seluruh umur. Sebagai obat pendingin termasuk juga beras (bahasa Aceh:breueh) dan padi (bahasa Aceh: padè), 2 butir telur mentah dan semangkok air yang dibubuhi kedalamnya tepung beras sedikit (bahasa Aceh: teupông taweue). Dalam air itu dimasukkan juga tumbuh-tumbuhan yang bersifat dingin, yaitu: Ã´n sisijue’, Ã´n manè’ manoe dan naleueng sambô; kadang kala dimasukkan juga Ã´n kala dan Ã´n pineueng mirah. Tumbuh-tumbuhan itu diikat menjadi sebuah berkas kecil dan dengan itu dipercikkanlah orang yang hendak didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut disuntingkan (bahasa Aceh: peusunténg) ketan kuning di belakang daun telinganya (Van Waardenburg, 1936: 3).[4]
          Selain itu, biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18).  Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).[5]

          Beberapa pakar sejarah Aceh menyebutkan bahwa Peusijuk merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Hindu. Sejak masuknya Islam ke daratan Aceh, sebagian kebiasaan atau adat masyarakat Aceh yang dianggap tidak bertentangan dengan Islam masih dilestarikan dan diperbolehkan oleh para ulama pada zaman awal Islam di Aceh. Sebagian praktik-praktik animisme dan ajaran Hindu juga masih diizinkan untuk dipraktikkan dengan mengubah ritual-ritual tersebut sesuai dengan ajaran Islam, misalnya jika dulu Peusijuk menggunakan jampi-jampi atau mantra, maka sekarang digantikan dengan membacakan doa keselamatan dan keberkahan untuk orang yang akan di-Peusijuk. Dalam perjalanannya, budaya Peusijuk ini mendapat banyak sorotan dari ulama-ulama reformis. Peusijuk dianggap syirik dan tidak ada dasarnya dalam Al Qur’an dan hadist. Pertentangan terjadi antara ulama reformis dan ulama tradisional yang masih melakukan tradisi ini dalam kesehariannya. Nyatanya, sampai sekarang, Peusijuek masih terus bertahan dan dilestarikan keberadaannya oleh masyarakat Aceh, sebagai sebuah budaya Islam. Mantra-mantra telah diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab atau disesuaikan dengan momen dari Peusijuek tersebut. Peusijuek masih dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok.[6]
        Begitu juga acara belah kelapa saat peutreun aneuk miet (membawa keluar rumah bayi pertama kali) juga merupakan tradisi-tradisi Hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata cara berpakain Hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang. Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam Islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan budaya Hindu.
          Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka ( pintu air ) tambak oleh petani tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu yang masih dilakukan sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.[7]
          Tari Seudati adalah nama tarian yang berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Seudati berasal dari kata syahadat, yang berarti bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori tribal war dance atau tari perang, yang syairnya berusaha membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh karena itu, tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi, sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi kesenian nasional Indonesia.[8]
          Penulis pernah bertanya langsung kepada petuah gampong bahwa disebagian desa di daerah pedalaman, sebagian masyarakat Aceh juga mempercayai bahwa azimat, takhayul, meminta bantuan kepada kuburan keramat dan hal-hal yang berbau mistis lainnya. Sebagai contoh masyarakat masih pergi ke tukang tenung untuk menanyakan hal-hal ghaib, seperti  kehilangan barang berharga. Padahal secara syariat Islam, perbuatan seperti ini merupakan perbuatan syirik dan syirik itu ialah salah satu dosa besar yang dapat tertolaknya ibadah seorang hamba terhadap Allah selama 40 hari 40 malam. Nabi Muhammad Saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya “Barangsiapa yang datang kepada satu tukang tenung, kemudian dia percaya yang disampaikannya, maka tidak akan diterima shalatnya empat puluh hari”. Kemudian dalam hadis Ibnu Hibban yang lain Nabi Muhammad Saw. juga bersabda yang artinya “Sesungguhnya jampi-jampian dan tangkal-tangkal dan tiwalah itu menjadikan musyrik”.[9]
          Dengan memperhatikan hadis shahih tersebut, seorang muslim harus menghindari perbuatan-perbuatan yang jauh dari anjuran syariat Islam, jauh dari hal-hal berbau mistis. Jangan membenarkan kebiasaan, tetapi biasakanlah kebenaran.

Faktor-faktor Budaya Islam lebih mudah berkembang di Aceh daripada budaya pra Islam lain[10]

          Menurut Karwadi, dkk (82) dikatakan bahwa ada enam faktor Islam lebih mudah diterima di kalangan masyarakat Hindu-Budha waktu itu. Keenama faktor tersebut yaitu :

   1. Syarat untuk memeluk agama Islam sangat mudah.

          Syarat masuk Islam sangat mudah, hanya dengan mengucapkan kedua kalimat Syahadat sesorang bisa masuk Islam. Dikutip dari laman http://bali.paduanwisata.id disebutkan bahwa Upacara Sudhi Wadhani ialah upacara untuk mengukuhkan atau mengesahkan dan janji seseorang yang pindah agama menjadi memeluk agama Hindu yang didasari oleh keikhlasan tanpa paksaan dari siapapun.[11]
          Adapun sarana dalam Upacara Sudhi Wadhani ditetapkan menjadi 3 tingkatan yakni:
–  Upacara kecil, dan yang menjadi sarananya adalah; a) bunga, b) bija, c) air, d) api/dupa.
–  Upacara sedang/ madyama, yang menjadi sarana upacaranya ialah; a) bunga, b) bija, c) basma air cendana, d) dupa.
–  Upacara besar, dan yang menjadi sarananya ialah; a) byakala, b) prayascita, c) tataban, d) api/ dupa.
          Adapun semua sarana/ sesajen ditata dan disesuaikan dengan keadaan masing-masing, karena unsur keindahan ialah salah satu pendukung kemantapan prilaku. Selain itu juga membantu untuk mengarahkan dan menuntut pikiran manusia untuk senantiasa memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala kemenangan dan kedamaian.

    2. Para saudagar maupun ulama dalam menyampaikan Islam menggunakan pendekatan dakwah yang simpatik.

          Ketika para saudagar atau ulama dari Arab, India dan Persia datang ke Indonesia untuk membawa Islam, mereka melakukan pendekatan terhadap masyarakat lokal. Misalnya dalam upacara membaca mantra diubah dengan bacaan doa kepada Allah, dan berselawat kepada nabi, sehingga lama kelamaan akan menjauhkan mereka dari ajaran Hindu-Buddha sehingga Islam akan mudah diterima oleh Islam.

    3. Ajaran Islam tidak mengenal pembedaan derajat manusia berdasarkan kasta/gelar sehingga menarik minat masyarakat pada umumnya.

          Dalam Islam tidak ada perbedaan antara satu muslim dengan muslim yang lain kecuali ketakwaannya. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang adil, seseorang akan menjadi teungku, kiyai atau ulama sekali pun tanpa memandang kasta. Jauh berbeda dengan agama Hindu yang memandang sistem kasta, sehingga kasta Waisa tidak akan bisa menjadi kasta Brahmana.

B.     KESIMPULAN

          Agama Hindu-Buddha datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Kedatangan agama Hindu-Buddha meninggalkan kebudayaan-kebudayaan yang masih bersifat pemujaan terhadap roh dan dewa. Kedatangan agama Hindu-Buddha ini juga mengalami akulturasi dengan budaya lokal Aceh (animisme dan dinamisme). Setelah berkembang agama Hindu-Buddha, muncul lah agama Islam melalui jalur perdagangan. Akulturasi antara kebudayaan Islam dengan Hindu-Budha melahirkan kebudayaan baru. Sebagian kebudayaan-kebudayaan tersebut bertentangan dengan hukum syariat Islam. kebudayaan-kebudayaan yang bertentengan dengan Islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, percaya kepada hal-hal yang berbau mistis, percayaan kepada tukang-tukang tenung, masyarakat Aceh juga mempercayai bahwa azimat, takhayul, dan meminta bantuan kepada kuburan keramat.

C.     DAFTAR PUSTAKA


A.HASSAN, Kitab Soal Jawab 1-2 Terhadap Berbagai Masalah Agama, Bandung: Penerbit Diponegoro Bandung, 2007.

Husni Thoyar, Pendidikan Agama Islam untuk SMP Kelas IX, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional, 2011.

Karwadi, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas IX, Jakarta:Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, 2011.











     [2] http://maa.acehprov.go.id/?p=77 diakses pada 25 Januari 2015
     [5]Ibid
     [8]Husni Thoyar, Pendidikan Agama Islam untuk SMP Kelas IX, (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional, 2011). Hlm. 173.
     [9]A.HASSAN, Kitab Soal Jawab 1-2 Terhadap Berbagai Masalah Agama, (Bandung: Penerbit Diponegoro Bandung, 2007). Hlm. 384-385.
      [10] Karwadi, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas IX, (Jakarta:Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, 2011). Hlm. 82.

Share with your friends

Give us your opinion

Bijaklah dalam Memberikan Komentar !

Notifikasi
Belum ada notififikasi terbaru.
Done