Berikut undang-undang tentang pendidikan yaitu Undang-undang No. 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[Untuk mendownload uu no. 20 tahun 2013 tentang sistem pendidikan nasional, klik link ini.]
Dalam UU ini, dijelaskan secara jelas mengenai definisi dari pendidikan itu sendiri (pasal 1 ayat 1) , pendidikan nasional (pasal 1 ayat 2), sistem pendidikan nasional (pasal 1 ayat 3), peserta didik (pasal 1 ayat 4), tenaga kependidikan (pasal 1 ayat 5), pendidik (pasal 1 ayat 5), jalur pendidikan (pasal 1 ayat 6), jenjang pendidikan (pasal 1 ayat 7), jenis pendidikan (pasal 1 ayat 8), satuan pendidikan (pasal 1 ayat 9), pendidikan formal (pasal 1 ayat 10), prinsip pendidikan (pasal 1 ayat 11), pendidikan norformal (pasal 1 ayat 12), pendidikan informal (pasal 1 ayat 13), pendidikan anak usia dini (pasal 1 ayat 14), pendidikan jarak jauh (pasal 1 ayat 15), pendidikan berbasis masyarakat (pasal 1 ayat 16), standar nasional (pasal 1 ayat 17), wajib belajar (pasal 1 ayat 18), kurikulum (pasal 1 ayat 19), pembelajaran (pasal 1 ayat 20), evaluasi (pasal 1 ayat 21), akreditasi (pasal 1 ayat 22), sumber daya pendidikan (pasal 1 ayat 23), dewan pendidikan (pasal 1 ayat 24), komite sekolah/madrasah (pasal 1 ayat 25), warga negara (pasal 1 ayat 26), masyarakat (pasal 1 ayat 27), pemerintah (pasal 1 ayat 28), pemerintah daerah (pasal 1 ayat 29) dan menteri (pasal 1 ayat 30).
Dalam pasal 1 ini ada beberapa istilah penting yang diuraikan lebih jauh, yang kesemuanya jika digabungkan akan menjadi suatu sistem pendidikan nasional.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Warga negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
Bab 2 UU no. 20 tahun 2013 tentang sistem pendidikan nasonal menjelaskan tentang dasar, fungsi dan tujuan sistem pendidikan nasional, diantaranya yaitu pasal 2 menjelaskan bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan yang menjadi fungsi dibentuk sistem pendidikan nasional ini dijelaskan di pasal 3 bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Pasal 4
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka
dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
4
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat.
Pasal 6
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
Pasal 7
(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh
informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 11
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun.BAB V
PESERTA DIDIK
Pasal 12
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya;
d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya;
e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masingmasing
dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban:
a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan
keberhasilan pendidikan;
b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya.
(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem
terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
Pasal 14
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan,
dan khusus.
Pasal 16
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 17
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 18
(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan.
(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA),
sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 19
(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau
universitas.
(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak
menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik,
profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi
yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya
dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang
bersangkutan.
(5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
(6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan
yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan
perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah.
(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 22
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar
doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23
(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih
aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pasal 24
(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada
perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta
otonomi keilmuan.
(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya
dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik,
profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 26
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan
pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap
dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan
yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan
formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 28
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal,
nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK),
raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain
(KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga
atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 29
(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesembilan
Pendidikan Keagamaan
Pasal 30
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat
dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal,
dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 31
(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok
masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang
didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu
lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 32
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil
atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,
bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 33
(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan
nasional.
(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan
apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu
untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
Pasal 34
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB IX
Pasal 35
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan
yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan,
dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 36
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
(3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38
(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh
Pemerintah.
(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota
untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
(4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan
tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studi.
Pasal 39
(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan
pendidikan.
(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan
intelektual; dan
e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis,
dan dialogis;
b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai
dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pasal 41
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.
(2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur
oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
(4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 42
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang
terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 43
(1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan
latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang
pendidikan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 44
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
(2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Pasal 45
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi
fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 46
(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 47
(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 48
(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi,
dan akuntabilitas publik.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 49
(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional.
(4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan,
pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan
pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
(5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta
satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan
di lembaganya.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 51
(1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikasenbagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52
(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 53
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan
dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pasal 54
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 55
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan
formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya
untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan
standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 56
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan
dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 57
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur
formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh
lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk
melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 60
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada
jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Sertifikasi
Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan
kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi
untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 62
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin
Pemerintah atau pemerintah daerah.
(2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan,
sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
(3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 63
Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di
negara lain menggunakan ketentuan undang-undang ini.
Pasal 64
Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik
Indonesia.
Pasal 65
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat
menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib
memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara
Indonesia.
(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik
dan pengelola warga negara Indonesia.
(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang
diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 66
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madraza
melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis
pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi
dan akuntabilitas publik.
(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 67
(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah,
sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5)
dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan
melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68
(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan
singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak
sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 69
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti
palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan
jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 72
Penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diundangkan belum berbentuk
badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.
Pasal 73
Pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada
satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat undang-undang ini diundangkan belum
memiliki izin.
Pasal 74
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun
1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya
undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 75
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang ini
harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini.
Pasal 76
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 48/Prp./1960 tentang
Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 77
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
No.4301
PENDIDIKAN.
Sistem Pendidikan Nasional. Warga Negara. Masyarakat. Pemerintah. Pemerintah
Daerah.
(Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78)
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
I. UMUM
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar
manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain
yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu,
seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu
tujuan negara Indonesia.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi,
desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan
memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem
pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan
tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan
tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum,
yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam,
diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi
tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat;
penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara
profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai
prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah
dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan
multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara
pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan
antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi
pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia
dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan
prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan
pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi :
1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9. pelaksanaan wajib belajar;
10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11. pemberdayaan peran masyarakat;
12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud
secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi
daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
4
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat.
Pasal 6
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh
informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 11
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun.BAB V
PESERTA DIDIK
Pasal 12
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya;
d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya;
e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masingmasing
dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban:
a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan
keberhasilan pendidikan;
b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya.
(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem
terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
Pasal 14
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan,
dan khusus.
Pasal 16
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bagian Kedua
Pendidikan Dasar
Pasal 17
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendidikan Menengah
(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan.
(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA),
sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pendidikan Tinggi
(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau
universitas.
(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak
menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik,
profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi
yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya
dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang
bersangkutan.
(5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
(6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan
yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan
perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah.
(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 22
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar
doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23
(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih
aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pasal 24
(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada
perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta
otonomi keilmuan.
(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya
dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik,
profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Pendidikan Nonformal
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan
pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap
dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan
yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan
formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Keenam
Pendidikan Informal
Pasal 27(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 28
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal,
nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK),
raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain
(KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga
atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pendidikan Kedinasan
Pasal 29
(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesembilan
Pendidikan Keagamaan
Pasal 30
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat
dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal,
dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Pendidikan Jarak Jauh
(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok
masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang
didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu
lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pasal 32
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil
atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,
bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB VII
BAHASA PENGANTAR
Pasal 33
(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan
nasional.
(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan
apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu
untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
BAB VIII
WAJIB BELAJAR
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB IX
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Pasal 35
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan
yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan,
dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB X
KURIKULUM
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
(3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38
(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh
Pemerintah.
(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota
untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
(4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan
tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studi.
BAB XI
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Pasal 39
(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan
pendidikan.
(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan
intelektual; dan
e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis,
dan dialogis;
b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai
dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pasal 41
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.
(2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur
oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
(4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 42
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang
terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 43
(1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan
latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang
pendidikan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 44
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
(2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
BAB XII
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
Pasal 45
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi
fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB XIII
PENDANAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan
(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan
Pasal 47
(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana Pendidikan
Pasal 48
(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi,
dan akuntabilitas publik.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan
Pasal 49
(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XIV
PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional.
(4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan,
pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan
pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
(5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta
satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan
di lembaganya.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 51
(1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikasenbagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52
(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Badan Hukum Pendidikan
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan
dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 55
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan
formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya
untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan
standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 56
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan
dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
BAB XVI
EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI
Bagian Kesatu
Evaluasi
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur
formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh
lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk
melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Akreditasi
Pasal 60
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada
jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Sertifikasi
Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan
kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi
untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XVII
PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN
Pasal 62
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin
Pemerintah atau pemerintah daerah.
(2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan,
sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
(3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 63
Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di
negara lain menggunakan ketentuan undang-undang ini.
BAB XVIII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN
Pasal 64
Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik
Indonesia.
Pasal 65
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat
menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib
memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara
Indonesia.
(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik
dan pengelola warga negara Indonesia.
(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang
diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XIX
PENGAWASAN
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madraza
melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis
pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi
dan akuntabilitas publik.
(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah,
sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5)
dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan
melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68
(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan
singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak
sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 69
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti
palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan
jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diundangkan belum berbentuk
badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.
Pasal 73
Pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada
satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat undang-undang ini diundangkan belum
memiliki izin.
Pasal 74
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun
1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya
undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan undang-undang ini.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 75
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang ini
harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini.
Pasal 76
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 48/Prp./1960 tentang
Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 77
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2003
Presiden Republik Indonesia,
Megawati Soekarnoputri
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2003
Sekretaris Negara Republik Indonesia,
Bambang Kesowo
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
No.4301
PENDIDIKAN.
Sistem Pendidikan Nasional. Warga Negara. Masyarakat. Pemerintah. Pemerintah
Daerah.
(Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78)
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
I. UMUM
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar
manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain
yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu,
seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu
tujuan negara Indonesia.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi,
desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan
memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem
pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan
tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan
tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum,
yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam,
diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi
tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat;
penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara
profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai
prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah
dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan
multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara
pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan
antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi
pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia
dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan
prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan
pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi :
1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9. pelaksanaan wajib belajar;
10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11. pemberdayaan peran masyarakat;
12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud
secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi
daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti.
Versi lengkapnya lihat saja di bawah ini