HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya zaman,
filsafat mengalami perubahan-perubahan di berbagai aspek, sehingga lahirnya
cabang filsafat baru yaitu filsafat pendidikan, filsafat manusia dan
sebagainya. Filsafat pendidikan sangat berperan dalam perkembangan pengetahuan
dan teknologi umat manusia, tanpa berpikir manusia tidak mungkin bisa
menciptakan teknologi. Sebagai contoh adanya fasilitas infokus dalam metode proses belajar mengajar (PBM), email sebagai sarana pendidikan, dan
sebagainya. Filsafat pendidikan membahas tentang hakikat manusia dan
pendidikan. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang berakal, manusia harus mengetahui segala potensi dan kemampuan
yang dimilikinya yang lebih dikenal dengan sebutan hakikat manusia.
Berdasarkan
latar belakang di atas, pengarang merumuskan :
1.
Apa pengertian hakikat manusia ?
2.
Bagaimana Hubungan manusia dan hasrat pengetahuan?
3.
Apa itu hawa nafsu ?
4.
Bagaimana hubungan manusia dengan filsafat
pendidikan ?
1. Untuk
Mengetahui pengertian filsafat
2.
Untuk Mengetahui Hubungan Filsafat dengan
Filsafat Pendidikan
3.
Untuk Mengetahui pengertian hawa nafsu
4.
Untuk Mengetahui hubungan manusia dengan
filsafat pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Secara
istilah Manusia adalah makhluk yang unik. Berkat dayu psikis cipta, rasa dan
karsanya, manusia bisa tahu bahwa ia mengetahui dan juga ia tahu bahwa ia dalam
keadaan tidak mengetahui. Manusia mengenal dunia sekelilingnya dan lebih
daripada itu, mengenal dirinya sendiri. Tetapi, manusia selain bisa jujur juga
bisa berbohong atau berpura-pura.
Manusia
sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk
mencapai kebaikan, dan keburukan. Alat yang dapat digunakan untuk mencapai
kebaikan adalah hati nurani, akal, ruh dan sirr. Sedangkan alat yang dapat
digunakan untuk mencapai keburukan adalah hawa nafsu syahwat yang berpusat di
perut dan hawa nafsu amarah yang berpusat di dada. Dalam konteks ini, pendidikan
harus berupaya mengarahkan manusia agar memiliki keterampilan untuk dapat
mempergunakan alat yang dapat membawa kepada kebaikan, yaitu akal, dan
menjauhkannya dari mempergunakan alat yang dapat membawa kepada keburukan,
yaitu hawa nafsu.
Kajian
terhadap akal dan hawa nafsu ini menjadi penting artinya, mengingat dampak yang
ditimbulkan dari kedua potensi tersebut bagi ipan manusia amat besar.
Daripada
makhluk yang lain, dengan daya-daya psikisnya, manusia memiliki kelebihan,
yaitu mampu menghadapi setiap persoalan kehidupannya. Apakah persoalan yang
bersangkutan dengan diri sendiri, orang lain secara individual dan sosial,
dengan alamnya, atau kah dengan Sang Penciptanya. Dengan potensi akal pikirannya, manusia mengatasi persoalan kehidupannya
secara matematis menurut asas-asas penalaran deduktif dan induktif. Dengan
potensi karsa, manusia mengatasi
persoalan kehidupannya melalui pendekatan perilaku menurut asas-asas etika.
Melalui tiga cara inilah manusia menemukan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan
kebaikan. Ketiganya dipedomani untuk dapat berkehidupan secara saleh dan
bijaksana.
B.
Manusia dan Hasrat Pengetahuan
Tidak jarang
terbersit dalam pikiran kita sebuah pertanyaan apa pengetahuan itu bagaimana
pengetahuan diperoleh, mengapa manusia berpengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan
sederhana ini sering muncul dan berusaha untuk mencari jawabannya.
Beberapa waktu
sebelum diciptakan, manusia (Adam as) telah dikukuhkan sebagai khalifah di bumi. Sebagai pejabat (khalifah), tentu saja ia memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan makhluk
lain, terlebih ia adalah khalifah dan
Sang Pencipta, Allah swt. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam
bentuknya yang sangat sempurna (fi ahsani
taqwim). Tidak ada makhluk ciptaan Allah swt. yang sesempurna manusia.
Manusia
dianugerahi kelebihan dan dibekali kemampuan. Bekal kemampuan bawaan inilah
yang kita kenal dengan istilah "fitrah".
Kemampuan bawaan merupakan modal dasar yang sangat penting. Sebagai modal ia
akan bisa berkembang dan bisa juga
tidak. Modal bawaan itu akan bisa
berkembang tatkala ada usaha untuk mengembangkannya
dan begitu pula sebaliknya.
Manusia telah
dibekali Allah swt. dengan beragam alat pengetahuan yaitu: indera, akal, dan
hati. Ketiga alat pengetahuan manusia itu merupakan modal dasar yang sangat
penting bagi manusia dan memungkinkannya untuk mendapatkan pengetahuan. Tetapi,
kemampuan tahu tersebut bersifat statis.
Untuk mengubahnya menjadi dinamis, diperlukan daya pendorong, yaitu keingin tahuan. Mampu tahu dan
keinginan tahu berpadu saling membutuhkan. Tanpa kemampuan, keinginan tak akan
terwujud. Tanpa keinginan, kemampuan pun tak akan tumbuh (berdaya).
Dari sini
jelas bahwa kemungkinan manusia untuk mendapatkan pengetahuan sangat besar
karena Allah swt. telah membekali manusia dengan modal dasar berupa alat-alat
pengetahuan yang merupakan penopang kemampuan manusia untuk mendapatkan
pengetahuan. Sekarang terserah manusia apakah berkeinginan untuk mendapatkan
pengetahuan atau tidak. Apakah manusia mau mengembangkan potensinya atau tidak.
Namun
demikian, rasanya tidak mungkin manusia tidak akan mengembankan potensinya.
Kalau kita mencermati perilaku anak kecil yang ingin menjamah segala sesuatu
kemudian ditelannya segala sesuatu itu, maka bisa dilihat dengan jelas bahwa
fitrah keingin tahuan manusia sangat besar. Semua manusia memliki rasa keingin
tahuan.
Tidak
mengherankan jika para ahli seperti Ibnu Sina mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang memiliki tujuh kemampuan, satu di antaranya adalah memiliki
kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di sekitarnya. Aristoteles mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk yang mampu berbicara dan mampu mengeluarkan
pikirannya dengan akalnya. Beerling (1966) mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang suka bertanya. Kesemuanya itu mempertegas bahwa manusia dibekali
dengan kemampuan untuk bertanya dan rasa ingin tahu (the will to know).
Pengetahuan
adalah hasil tahu, demikian dikatakan oleh Poedjwawijatna (2004:14). Hasil tahu
tersebut diperoleh melalui pembuatan Keputusan atas sesuatu. Pengetahuan itu
pada hakikatnya adalah putusan seseorang akan sesuatu. Kalau misalnya seseorang tahu bahwa pohon itu
rendah, maka ia mengakui, membuat Keputusan, hal rendah itu terhadap pohon.
Supaya lebih jelas perhatikan ilustrasi dari bagan berikut :
Pengetahuan
manusia memiliki beberapa tingkatan pengetahuan yang pertama disebut dengan pengetahuan indrawi. Pengetahuan
indrawi ini merupakan tahuan yang digunakan untuk menjawab rasa penasaran manusia
tetapi hanya didasarkan pada pencerapan indrawi. Tatkala ada pertanyaan apa
hujan itu, maka dalam perspektif pengetahuan indrawi bisa dijawab dengan : air
yang turun dari langit. Pengetahuan yang dipergunakan orang terutama untuk
hidupnya sehari- hari tanpa mengetahui seluk-beluk yang sedalam-dalamnya dan
seluas-luasnya dalam bahasa disebut dengan pengetahuan biasa.
Seperti yang
dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa rasa penasaran manusia itu bersifat
dinamis, manusia biasanya akan mempertanyakan lagi secara lebih mendalam.
Manusia adakalanya tidak puas dengan mendorong manusia untuk memiliki
pengetahuan yang lebih mendalam dari sekedar apa yang tertangkap indra. Untuk
mencari jawaban itu manusia terdorong untuk melakukan penyelidikan yang
mendalam dengan berbagai metode. Akhimya dari penyelidikan tersebut
diperolehlah penjelasan tentang proses terjadinya hujan. Tingkatan pengetahuan
yang kedua inilah yang disebut dengan pengetahuan
ilmiah (science). Pengetahuan
yang meniscayakan kerja ilmiah (baca: metode ilmiah) dalam mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Namun demikian,
keingintahuan manusia yang tak terbatas itu membuka peluang untuk memunculkan
pertanyaan-pertanyaan fundamental yang bisa jadi pertanyaan-pertanyaan itu
tidak mungkin dijawab dengan menggunakan pendekatan ilmiah seperti pada sains.
Sains tidak mungkin menjawabnya dengan seperangkat metode-metodenya yang
memiliki keterbatasan. Pertanyaan tentang mengapa siklus hujan itu sedemikian
rupa atau barangkali pertanyaan tentang apa makna hidup kita di dunia ini,
mengapa harus ada kehidupan dunia dan sejenisnya adalah pertanyaan-pertanyaan
yang harus dijawab tetapi tentu tidak dengan metode ilmiah. Jawaban atas
pertanyaan itu bisa diperoleh dengan penjelasan yang rasional saja. Tingkatan
pengetahuan yang semacam inilah yang disebut dengan pengetahuan filosofis menyatakan bahwa filsafat adalah upaya manusia
untuk memahami sesuatu pada dataran makna yang diperoleh melalui penalaran
rasional.
Dalam konteks masyarakat beragama,
tiga tingkatan pengetahuan tersebut masih dilengkapi lagi dengan pengetahuan
jenis keempat yaitu pengetahuan keempat yaitu pengetahuan agama. Dalam kenyataan hidup ini terdapat pengetahuan
yang harus diinformasikan keberadaannya seperti pengetahuan tentang adanya hari
pembalasan dan hari kebangkitan setelah meninggal dunia.
Keempat model
pengetahuan tersebut menjadikan rasa keinginan tahu manusia kemungkinan besar
akan dapat terpenuhi. Keempat model pengetahuan tersebut yang menjadikan
manusia menjadi lengkap untuk mengarungi kehidupannya di dunia ini. Adakalanya
rasa penasaran manusia cukup terjawab dengan pengetahuan indrawi, adakalanya
terpenuhi dengan pengetahuan ilmiah, adakalanya dengan pengetahuan filsafat,
tetapi adakalanya manusia membutuhkan pengetahuan agama.
C.
Hawa Nafsu
Hawa
nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri
seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi
seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan
suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu obyek atau situasi demi
pemenuhan emosi tersebut. Dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan, kekuasaan,
dan lainnya; namun pada umumnya dihubungkan dengan hawa nafsu seksual.
‘Ali bin Abi Talib berkata :
“Janganlah sekali-kali engkau menuruti
nafsumu, dan jadikanlah yang membantumu untuk menghindar darinya adalah
pengetahuanmu, bahwasannya ia berupaya mengalihkan perhatian akalmu,
mengacaukan pendapatmu, mencemarkan kehormatanmu, memalingkan kebanyakan
urusanmu, dan memberatkanmu dengan akibat yang akan di tanggung di akhirat.
Sesungguhnya nafsu adalah permainan. Maka, jika datang permainan, menghilanglah
kesungguhan. Padahal, agama tidak akan pernah berdiri tegak dan dunia tidak
akan menjadi baik kecuali dengan kesungguhan”.
Manusia memiliki berbagai dimensi
dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dan lain-lain. Semua itu bercampur
aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak,
manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maksimal atau tidak,
dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan
yang mempengaruhinya.
Kaitanya dengan hal tersebut, dengan
akal manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia berpikir dan dapat menemukan
jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik, yaitu dengan
pendidikan. Manusia mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi kehidupan
mereka sehingga filsafat pendidikan.
Berbicara tentang pendidikan, berarti
membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang
kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan. Jadi,
antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena
pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang
manusiawi.
Manusia merupakan subjek pendidikan,
tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri. Pedagogik tanpa
ilmu jiwa, sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia,
berarti membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa
manusia dididik. Tanpa mengerti atas manusia, baik sifat-sifat
individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi yang justru akan dibina,
pendidikan akan salah arah. Bahkan tanpa pengertian yang baik, pendidikan akan
merusak kodrat manusia. Apabila digunakan secara negatif.
Esensia kepribadian manusia, yang
tersimpul dalam aspek-aspek: individualitas, sosialitas dan moralitas hanya
mungkin menjadi relita (tingkah laku, sikap) melalui pendidikan yang diarahkan
kepada masing-masing esensia itu. Harga diri, kepercayaan pada diri sendiri (self-respect, self-reliance, self confidence)
rasa tanggung jawab, dan sebagainya juga akan tumbuh dalam kepribadian manusia
melalui proses pendidikan.
Jadi, hubungan antara filsafat,
pendidikan dan manusia secara singkat adalah sebagai berikut; filsafat
digunakan untuk mencari hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada
dalam diri manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan
dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan
manusia.
BAB
III
PENUTUP
1.
Hakikat manusia sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki
alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan, dan keburukan. Alat yang
dapat digunakan untuk mencapai kebaikan adalah hati nurani, akal, ruh dan sirr.
Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk mencapai keburukan adalah hawa nafsu
syahwat yang berpusat di perut dan hawa nafsu amarah yang berpusat di dada.
2. Pengetahuan manusia memiliki beberapa tingkatan
pengetahuan yang pertama disebut dengan pengetahuan indrawi, pengetahuan ilmiah (science), pengetahuan filosofis dan pengetahuan
agama.
3.
Hawa nafsu dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan,
kekuasaan, dan lainnya, namun pada umumnya dihubungkan dengan hawa nafsu seksual.
4. Dalam filsafat pendidikan, akal manusia yang
bisa dikatakan jenius, manusia berpikir dan dapat menemukan jalan untuk
mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik, yaitu dengan pendidikan.
5. Hubungan antara filsafat, pendidikan dan manusia
secara singkat adalah sebagai berikut; filsafat digunakan untuk mencari
hakekat manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan
dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan
manusia.
B.
SARAN
Makalah ini penulis susun sebaik
mungkin, apabila terdapat kesalahan dalam hal pengetikan maka penulis meminta
maaf sebesar-besarnya karena penulis juga manusia biasa, kritik dan sarannya
sangat berguna demi kesempurnaan makalah ini. Semoga keberkahan selalu bersama
kita.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Nata, Abuddin.
2012. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta
: RajaGrafindo Persada.
Sugono, Dendy.
2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa.
Suhartono,
Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta : Ar-Ruzz.
http://filsafat.kompasiana.com/2014/04/05/hubungan-antara-filsafat-pendidikan-dan-manusia-
646654.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hawa_nafsu