Makalah Filsafat Pendidikan Hakikat Manusia dalam Filsafat Pendidikan - Kimia dan Pendidikan
News Update
Loading...

Saturday 7 October 2017

Makalah Filsafat Pendidikan Hakikat Manusia dalam Filsafat Pendidikan

HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN

Seiring berkembangnya zaman, filsafat mengalami perubahan-perubahan di berbagai aspek, sehingga lahirnya cabang filsafat baru yaitu filsafat pendidikan, filsafat manusia dan sebagainya. Filsafat pendidikan sangat berperan dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi umat manusia, tanpa berpikir manusia tidak mungkin bisa menciptakan teknologi. Sebagai contoh adanya fasilitas infokus dalam metode proses belajar mengajar (PBM), email sebagai sarana pendidikan, dan sebagainya. Filsafat pendidikan membahas tentang hakikat manusia dan pendidikan. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang berakal, manusia  harus mengetahui segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya yang lebih dikenal dengan sebutan hakikat manusia.

Berdasarkan latar belakang di atas, pengarang merumuskan :
1.      Apa pengertian hakikat manusia ?
2.      Bagaimana Hubungan manusia dan hasrat pengetahuan?
3.      Apa itu hawa nafsu ?
4.      Bagaimana hubungan manusia dengan filsafat pendidikan ?

1.      Untuk Mengetahui pengertian filsafat
2.      Untuk Mengetahui Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan
3.      Untuk Mengetahui pengertian hawa nafsu
4.      Untuk Mengetahui hubungan manusia dengan filsafat pendidikan


 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Manusia
  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Secara istilah Manusia adalah makhluk yang unik. Berkat dayu psikis cipta, rasa dan karsanya, manusia bisa tahu bahwa ia mengetahui dan juga ia tahu bahwa ia dalam keadaan tidak mengetahui. Manusia mengenal dunia sekelilingnya dan lebih daripada itu, mengenal dirinya sendiri. Tetapi, manusia selain bisa jujur juga bisa berbohong atau berpura-pura.
     Manusia sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan, dan keburukan. Alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan adalah hati nurani, akal, ruh dan sirr. Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk menca­pai keburukan adalah hawa nafsu syahwat yang berpusat di perut dan hawa nafsu amarah yang berpusat di dada. Dalam konteks ini, pendi­dikan harus berupaya mengarahkan manusia agar memiliki keterampilan untuk dapat mempergunakan alat yang dapat membawa kepada kebaikan, yaitu akal, dan menjauhkannya dari mempergunakan alat yang dapat membawa kepada keburukan, yaitu hawa nafsu.
   Kajian terhadap akal dan hawa nafsu ini menjadi penting artinya, mengingat dampak yang ditimbulkan dari kedua potensi tersebut bagi ipan manusia amat besar.
Daripada makhluk yang lain, dengan daya-daya psikisnya, manusia memiliki kelebihan, yaitu mampu menghadapi setiap persoalan kehidupannya. Apakah persoalan yang bersangkutan dengan diri sendiri, orang lain secara individual dan sosial, dengan alamnya, atau kah dengan Sang Penciptanya. Dengan potensi akal pikirannya, manusia mengatasi persoalan kehidupannya secara matematis menurut asas-asas penalaran deduktif dan induktif. Dengan potensi karsa, manusia mengatasi persoalan kehidupannya melalui pendekatan perilaku menurut asas-asas etika. Melalui tiga cara inilah manusia menemukan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan. Ketiganya dipedomani untuk dapat berkehidupan secara saleh dan bijaksana.

B.     Manusia dan Hasrat Pengetahuan
Tidak jarang terbersit dalam pikiran kita sebuah pertanyaan apa pengetahuan itu bagaimana pengetahuan diperoleh, mengapa manusia berpengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini sering muncul dan berusaha untuk mencari jawabannya.
Beberapa waktu sebelum diciptakan, manusia (Adam as) telah dikukuhkan sebagai khalifah di bumi. Sebagai pejabat (khalifah), tentu saja ia memiliki keistimewaan  dibandingkan dengan makhluk lain, terlebih ia adalah khalifah dan Sang Pencipta, Allah swt. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam bentuknya yang sangat sempurna (fi ahsani taqwim). Tidak ada makhluk ciptaan Allah swt. yang sesempurna manusia.
Manusia dianugerahi kelebihan dan dibekali kemampuan. Bekal kemampuan bawaan inilah yang kita kenal dengan istilah "fitrah". Kemampuan bawaan merupakan modal dasar yang sangat penting. Sebagai modal ia akan bisa berkembang  dan bisa juga tidak. Modal bawaan itu  akan bisa berkembang  tatkala ada usaha untuk mengembangkannya dan begitu pula sebaliknya.
Manusia telah dibekali Allah swt. dengan beragam alat pengetahuan yaitu: indera, akal, dan hati. Ketiga alat pengetahuan manusia itu merupakan modal dasar yang sangat penting bagi manusia dan memungkinkannya untuk mendapatkan pengetahuan. Tetapi, kemampuan tahu tersebut bersifat statis. Untuk mengubahnya menjadi dinamis, diperlukan daya pendorong, yaitu keingin tahuan. Mampu tahu dan keinginan tahu berpadu saling membutuhkan. Tanpa kemampuan, keinginan tak akan terwujud. Tanpa keinginan, kemampuan pun tak akan tumbuh (berdaya).
 Dari sini jelas bahwa kemungkinan manusia untuk men­dapatkan pengetahuan sangat besar karena Allah swt. telah membekali manusia dengan modal dasar berupa alat-alat pengetahuan yang merupakan penopang kemampuan ma­nusia untuk mendapatkan pengetahuan. Sekarang terserah manusia apakah berkeinginan untuk mendapatkan pengetahuan atau tidak. Apakah manusia mau mengembangkan potensinya atau tidak.
Namun demikian, rasanya tidak mungkin manusia tidak akan mengembankan potensinya. Kalau kita mencermati perilaku anak kecil yang ingin menjamah segala sesuatu kemudian ditelannya segala sesuatu itu, maka bisa dilihat dengan jelas bahwa fitrah keingin tahuan manusia sangat besar. Semua manusia memliki rasa keingin tahuan.
Tidak mengherankan jika para ahli seperti Ibnu Sina mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tujuh kemampuan, satu di antaranya adalah memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di sekitarnya. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu berbicara dan mampu mengeluarkan pikirannya dengan akalnya. Beerling (1966) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang suka bertanya. Kesemuanya itu mempertegas bahwa manusia dibekali dengan kemampuan untuk bertanya dan rasa ingin tahu (the will to know).
Pengetahuan adalah hasil tahu, demikian dikatakan oleh Poedjwawijatna (2004:14). Hasil tahu tersebut diperoleh melalui pembuatan Keputusan atas sesuatu. Pengetahuan itu pada hakikatnya adalah putusan seseorang akan sesuatu. Kalau  misalnya seseorang tahu bahwa pohon itu rendah, maka ia mengakui, membuat Keputusan, hal rendah itu terhadap pohon. Supaya lebih jelas perhatikan ilustrasi dari bagan berikut :
 Pengetahuan manusia memiliki beberapa tingkatan pengetahuan yang pertama disebut dengan pengetahuan indrawi. Pengetahuan indrawi ini merupakan tahuan yang digunakan untuk menjawab rasa penasaran ma­nusia tetapi hanya didasarkan pada pencerapan indrawi. Tatkala ada pertanyaan apa hujan itu, maka dalam perspektif pengetahuan indrawi bisa dijawab dengan : air yang turun dari langit. Pengetahuan yang dipergunakan orang terutama untuk hidupnya sehari- hari tanpa mengetahui seluk-beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dalam bahasa disebut dengan pengetahuan biasa.
Seperti yang dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa rasa penasaran manusia itu bersifat dinamis, manusia biasanya akan mempertanyakan lagi secara lebih mendalam. Manusia adakalanya tidak puas dengan mendorong manusia untuk memiliki pengetahuan yang lebih mendalam dari sekedar apa yang tertangkap indra. Untuk mencari jawaban itu manusia terdorong untuk melakukan penyelidikan yang mendalam dengan berbagai metode. Akhimya dari penyelidikan tersebut diperolehlah penjelasan tentang proses terjadinya hujan. Tingkatan pengetahuan yang kedua inilah yang disebut dengan pengetahuan ilmiah (science). Pengetahuan yang meniscayakan kerja ilmiah (baca: metode ilmiah) dalam mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Namun demikian, keingintahuan manusia yang tak terbatas itu membuka peluang untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang bisa jadi pertanyaan-pertanyaan itu tidak mungkin dijawab dengan menggunakan pendekatan ilmiah seperti pada sains. Sains tidak mungkin menjawabnya dengan seperangkat metode-metodenya yang memiliki keterbatasan. Pertanyaan tentang mengapa siklus hujan itu sedemikian rupa atau barangkali pertanyaan tentang apa makna hidup kita di dunia ini, mengapa harus ada kehidupan dunia dan sejenisnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab tetapi tentu tidak dengan metode ilmiah. Jawaban atas pertanyaan itu bisa diperoleh dengan penjelasan yang rasional saja. Tingkatan pengetahuan yang semacam inilah yang disebut dengan pengetahuan filosofis menyatakan bahwa filsafat adalah upaya manusia untuk memahami sesuatu pada dataran makna yang diperoleh melalui penalaran rasional.
Dalam konteks masyarakat beragama, tiga tingkatan pengetahuan tersebut masih dilengkapi lagi dengan pengetahuan jenis keempat yaitu pengetahuan keempat yaitu pengetahuan agama. Dalam kenyataan hidup ini terdapat pengetahuan yang harus diinformasikan keberadaannya seperti pengetahuan tentang adanya hari pembalasan dan hari kebangkitan setelah meninggal dunia.
Keempat model pengetahuan tersebut menjadikan rasa keinginan tahu manusia kemungkinan besar akan dapat terpenuhi. Keempat model pengetahuan tersebut yang menjadikan manusia menjadi lengkap untuk mengarungi kehidupannya di dunia ini. Adakalanya rasa penasaran manusia cukup terjawab dengan pengetahuan indrawi, adakalanya terpenuhi dengan pengetahuan ilmiah, adakalanya dengan pengetahuan filsafat, tetapi adakalanya manusia membutuhkan pengetahuan agama.

C.     Hawa Nafsu
Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu obyek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut. Dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan, kekuasaan, dan lainnya; namun pada umumnya dihubungkan dengan hawa nafsu seksual.
 ‘Ali bin Abi Talib berkata :
“Janganlah sekali-kali engkau menuruti nafsumu, dan jadikanlah yang membantumu untuk menghindar darinya adalah pengetahuanmu, bahwasannya ia berupaya mengalihkan perhatian akalmu, mengacaukan pendapatmu, mencemarkan kehormatanmu, memalingkan kebanyakan urusanmu, dan memberatkanmu dengan akibat yang akan di tanggung di akhirat. Sesungguhnya nafsu adalah permainan. Maka, jika datang permainan, menghilanglah kesungguhan. Padahal, agama tidak akan pernah berdiri tegak dan dunia tidak akan menjadi baik kecuali dengan kesungguhan”.

D.     Hubungan Manusia dengan Filsafat Pendidikan
        Manusia memiliki berbagai dimensi dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dan lain-lain. Semua itu bercampur aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak, manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maksimal atau tidak, dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya.
        Kaitanya dengan hal tersebut, dengan akal manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia berpikir dan dapat menemukan jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik, yaitu dengan pendidikan. Manusia mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi kehidupan mereka sehingga filsafat pendidikan.
        Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan. Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.
        Manusia merupakan subjek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri. Pedagogik tanpa ilmu jiwa, sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia, berarti membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia dididik. Tanpa mengerti atas manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi yang justru akan dibina, pendidikan akan salah arah. Bahkan tanpa pengertian yang baik, pendidikan akan merusak kodrat manusia. Apabila digunakan secara negatif.
        Esensia kepribadian manusia, yang tersimpul dalam aspek-aspek: individualitas, sosialitas dan moralitas hanya mungkin menjadi relita (tingkah laku, sikap) melalui pendidikan yang diarahkan kepada masing-masing esensia itu. Harga diri, kepercayaan pada diri sendiri (self-respect, self-reliance, self confidence) rasa tanggung jawab, dan sebagainya juga akan tumbuh dalam kepribadian manusia melalui proses pendidikan.
        Jadi, hubungan antara filsafat, pendidikan dan manusia secara singkat adalah sebagai berikut; filsafat digunakan untuk mencari hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia.

 BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
     1.   Hakikat manusia  sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan, dan keburukan. Alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan adalah hati nurani, akal, ruh dan sirr. Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk menca­pai keburukan adalah hawa nafsu syahwat yang berpusat di perut dan hawa nafsu amarah yang berpusat di dada.   
    2.  Pengetahuan manusia memiliki beberapa tingkatan pengetahuan yang pertama disebut dengan pengetahuan indrawi, pengetahuan ilmiah (science), pengetahuan filosofis dan pengetahuan agama.
     3.  Hawa nafsu dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan, kekuasaan, dan lainnya, namun pada umumnya dihubungkan dengan hawa nafsu seksual.
     4.  Dalam filsafat pendidikan, akal manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia berpikir dan dapat menemukan jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik, yaitu dengan pendidikan.
     5.   Hubungan antara filsafat, pendidikan dan manusia secara singkat adalah sebagai berikut; filsafat digunakan untuk mencari hakekat manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia.

      B.     SARAN
     Makalah ini penulis susun sebaik mungkin, apabila terdapat kesalahan dalam hal pengetikan maka penulis meminta maaf sebesar-besarnya karena penulis juga manusia biasa, kritik dan sarannya sangat berguna demi kesempurnaan makalah ini. Semoga keberkahan selalu bersama kita.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
      In’am Esha, Muhammad. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat. Malang : UIN-Malang Press.

Nata, Abuddin. 2012. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo  Persada.

Sugono, Dendy. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa.

Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Ar-Ruzz. 

http://filsafat.kompasiana.com/2014/04/05/hubungan-antara-filsafat-pendidikan-dan-manusia-    
          646654.html.

 http://id.wikipedia.org/wiki/Hawa_nafsu


Share with your friends

Give us your opinion

Bijaklah dalam Memberikan Komentar !

Notifikasi
Belum ada notififikasi terbaru.
Done