MAKALAH AKHLAK KEPADA DIRI SENDIRI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah
agama yang sangat menjunjung tinggi akhlak manusia. Oleh karena itu, Allah SWT.
mengutus Nabi Muhammad SAW. untuk menyempurnakan akhlak manusia dan merubah
akhlak manusia dari akhlak tercela (akhlak
mazhmumah) ke akhlak yang terpuji (akhlakul
qarimah). Rasulullah SAW. bersabda dalam suatu hadis yang artinya “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini
untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Sebagai generasi bangsa, sebagai
pemuda Islam kita harus bisa menjadikan Rasulullah sebagai motivator bagi kita.
Pemateri sengaja membahas tentang “Akhlak kepada diri sendiri” agar
kita terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Segala perilaku
manusia sudah diatur oleh Allah SWT. dalam kitab-Nya dan telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW. dari ujung kaki sampai ujung rambut sekali pun. Imam Syafi’i
berkata “Berapa ramai manusia yang hidup
dalam kelalaian sedangkan kain kafannya sedang ditenun”. Kebanyakan manusia
rugi karena tidak mau berbuat baik, mereka terpedaya oleh kehidupan dunia.
Dewasa ini banyak kita lihat dilingkungan sekitar kita hal-hal yang tidak
bagus, pemerkosaan dan tawuran umpamanya. Akhlak manusia semakin hari semakin
biadap. Tugas kita lah sebagai generasi muda untuk memperbaiki akhlak manusia,
baik itu akhlak kepada Allah, akhlak kepada Rasulullah, akhlak kepada diri
sendiri dan akhlak kepada sesama makhluk Allah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan :
- Apa saja yang termasuk ke dalam akhlak kepada diri sendiri?
- Bagaimana cara mencontohi keteladan rasulullah saw. dengan berakhlak kepada diri sendiri?
C. TUJUAN PENULISAN
- Untuk mengetahui apa saja yang termasuk ke dalam akhlak kepada diri sendiri.
- Untuk memberikan informasi mengenai cara mencontohi keteladan rasulullah saw. dengan berakhlak kepada diri sendiri?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai umat
Rasulullah SAW. kita harus bisa mencontohi perilaku Rasulullah SAW.. Ada
beberapa macam akhlak terpuji terhadap diri sendiri yang harus dimiliki oleh
setiap muslim. Perilaku-perilaku tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sabar
Sabar adalah menahan diri dari dorongan
hawa nafsu demi mencapai keridaan Tuhannya dan menggantinya dengan
bersungguh-sungguh menjalani cobaan Allah SWT. terhadapnya. Sabar bukan hanya
bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi dalam hal ketaatan kepada Allah SWT.,
yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Pernah Umar bin Al Khathab ra. menulis
surat kepada Abu Musa Al As’ari ra. dengan pesan sebagai berikut, “Hendaklah kamu bersabar dan ketahuilah
sabar itu ada yang lebih utama yaitu ketika engkau sabar dari mencegah sesuatu
yang diharamkan Allah. Sabar adalah tiang dari iman. Takwa adalah sebaik-baik
kebajikan, adapun takwa itu sendiri harus dilakukan dengan sabar”.[1]
Sabar dalam pandangan Al-Ghazali
merupakan tangga dan jalan yang dilintasi oleh orang-orang yang hendak menuju
Allah SWT.. Sabar terbagi tiga macam yaitu sebagai berikut:
·
Sabar
dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang agama. Sebagaimana Allah berfirman:
۞وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ
لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٞ
رَّحِيمٞ ٥٣
Artinya:
“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas
(dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada
kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya,
Tuhanku Maha pengampun, Maha penyayang.” (Q.S.Yusuf
[12]: 53)
·
Sabar
karena taat kepada Allah, artinya sabar untuk
tetap melaksanakan perintah Allah SWT., dan menjauhi segala larangan-Nya dengan
senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada-Nya. Allah SWT. berfirman yang artinya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ
تُفۡلِحُونَ ٢٠٠
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Q.S.
Ali-Imran [3]: 200)
·
Sabar
karena musibah, artinya sabar ketika ditimpa
kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah SWT.. Allah SWT. berfirman:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ
مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ
وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ
صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ ١٥٧
Artinya :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa
ilaihi raaji´uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna
dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk”. ( Q.S. Al-Baqarah [2]: 155-157)
2. Syukur
a. Pengertian
syukur
Syukur merupakan sikap seseorang untuk
tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dalam melakukan maksiat
kepada-Nya. Bentuk syukur terhadap nikmat yang Allah SWT. berikan tersebut
adalah dengan jalan mempergunakan nikmat Allah tersebut dengan sebaik-baiknya.
Adapun karunia yang diberikan oleh Allah harus kita manfaatkan dan kita
pelihara, seperti pancaindra, harta benda, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Sebuah riwayat menerangkan bahwa Atha’
menemui Aisyah ra. ia berkata “Beritahukanlah
kepadaku tentang sikap Rasulullah yang mengherankanmu?” Aisyah ra. tiba-tiba
menangis seraya berkata, “Dia, Rasulullah SAW. datang kepadaku pada malam hari
dan tidur bersamaku dalam satu selimut sehingga kulit kami bersentuhan, “Hai
puteri Abu Bakar, biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanku.” Aku berkata
kepadanya, “Sesungguhnya aku masih ingin berdekatan denganmu, tetapi aku lebih
mengutamakan keinginan (untuk beribadah kepada Allah), lalu Nabi SAW. bangun dan mengambil air wudhu dan menunaikan
shalat. Ia menangis bercucuran air mata. Ketika rukuk dan sujud pun demikian.
Demikianlah dikerjakan semalaman sampai terdengar Bilal mengumandangkan azan.
Aku berkata kepadanya “Wahai Rasulullah, apakah yang membuatmu menangis.
Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab “Aku menangis
karena bersyukur kepada Allah. Dan Allah telah menurunkan firman-Nya kepadaku :
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِي تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ
بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٖ
فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٖ
وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ
لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ١٦٤
Artinya
:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti siang dan malam, bahtera yang
berlayar di laut membawa sesuatu yang berguna, dan sesuatu yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi yang gersang. Dia sebarkan
segala jenis hewan di bumi, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran dan keesaan Allah
bagi orang-orang yang mau berpikir” (Q.S Al
Baqarah : 164) [2]
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Ketika tidak mengaruniakan seseorang berupa syukur, berarti
Allah menghalanginya untuk memperoleh tambahan nikmat karena Allah SWT telah
berfirman,‘Jika kalian bersyukur, Aku akan menambahkan nikmat kepada kalian’.”
(H.R Al-Baihaqi).
b. Bentuk-bentuk
syukur
Mengacu kepada pengertian iman,
yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikan dengan
amal perbuatan, maka bentuk syukur juga ada tiga, yaitu: [3]
1) Bersyukur dengan hati, yaitu mengakui dan menyadari
dengan sepenuh bahwa segala nikmat yang diperoleh berasal dari Allah SWT. dan
tiada seseorang pun selain Allah SWT. yang dapat memberikan nikmat itu.
Bersyukur dengan hati juga berupa rasa gembira dan rasa terhadap nikmat yang
telah diterimanya.
2) Bersyukur dengan lisan, yaitu mengucapkan secara jelas
ungkapan rasa syukur itu dengan kalimat hamdalah. Bahkan ada beberapa doa yang
diajarkan oleh rasul sebagai ungkapan syukur atas nikmat tertentu, misalnya doa
setelah makan, doa bangun tidur, doa selesai buang hajat dan lain sebagainya.
3) Bersyukur dengan amal perbuatan, yaitu menggunakan nikmat
yang telah Allah berikan. Misalnya menggunakan anggota tubuh untuk melakukan
hal-hal yang baik. Misalnya:
a) menggunakan anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang
positif dan diridhai Allah SWT. b) jika seseorang memperoleh nikmat harta
benda, maka ia mempergunakan harta itu sesuai dengan jalan Allah SWT..
c) Jika nikmat yang diperolehnya berupa ilmu pengetahuan, ia
akan memanfaatkan ilmu itu untuk
keselamatan, kebahagian, dan kesejahteraan manusia dan diajarkan kepada orang
lain; bukan sebaliknya, ilmu yang diperoleh digunakan untuk membinasakan dan
menghancurkan kehidupan manusia.
Sementara itu Imam Al-Ghazali menegaskan bahawa mensyukuri
anggota tubuh yang diberikan Allah SWT. meliputi 7 anggota badan yang penting,
yaitu :
a) Mata, mensyukuri nikmat ini dengan tidak mempergunakannya
untuk melihat hal-hal yang maksiat;
b) Telinga, digunakan hanya untuk mendengarkan hal-hal yang
baik dan tidak mempergunakannya untuk hal-hal yang tidak boleh didengar;
c) Lidah, dengan banyak mengucapkan zikir, mengucapkan puji-pujian
kepada Allah SWT. dan mengungkapkan nikmat-nikmat yang diberikan.
d) Tangan, digunakan untuk melakukan kebaikan-kebaikan
terutama untuk diri sendiri, maupun untuk orang lain, dan tidak
mempergunakannya untuk melakukan hal-hal yang haram;
e) Perut, dipakai hanya untuk memakan makanan yang
halal/baik dan tidak berlebih-lebihan (mubazir). Makanan itu dimakan sekadar
untuk menguatkan tubuh terutama untuk beribadat kepada Allah SWT..;
f) Kemaluan, dijaga kehormatan dari hal-hal yang dilarang
oleh Allah seperti zina dan pergaulan bebas.
g) Kaki, digunakan untuk berjalan ke tempat-tempat yang
baik, seperti ke masjid, naik haji ke Baitullah (Ka’bah), mencari rezeki yang
halal, dan menolong sesama umat manusia.
3. Menunaikan
amanah
Pengertian amanah menurut bahasa adalah
kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan atau kejujuran, kebalikan dari khianat.
Amanah adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati, dan jujur
dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda,
rahasia, ataupun tugas kewajiban. Amanah dengan baik biasa disebut al-amin yang berarti dipercaya, jujur,
dan amanah.
Dasar-dasar kewajiban menunaikan amanah
adalah sebagai berikut:
·
Allah SWT. berfirman:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ
إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا
٥٨
Artinya :
“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya.” (Q.S. An-Nisa’[4]: 58)
·
Rasulullah SAW.
bersabda:
Artinya:
“Tunaikan amanah yang dipercayakan seseorang padamu dan
jangan mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”(H.R
Abu Daud)
4. Benar
atau jujur
Jujur atau kejujuran berarti apa yang dikatakan seseorang
sesuai dengan hati nuraninya. Jujur juga berarti seseorang her sih hatinya dari
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Jujur berarti pula
menepati janji atau menepati kesanggupan, baik yang telah terlahir dalam
kata-kata maupun yang masih di dalam hati (niat). Jadi seseorang yang tidak menepati
niatnya berarti mendustai dirinya sendiri.[4]
Maksud akhlak terpuji ini adalah berlaku
benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar dalam
perkataan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ada, dan
tidak pula menyembunyikannya. Benar dalam perbuatan adalah mengerjakan sesuatu
sesuai dengan petunjuk agama.[5]
Bagi seorang muslim, kejujuran itu
tidak hanya akan mengantarnya untuk bisa meraih berbagai kebaikan dunia, tapi
lebih dari itu, kejujuran merupakan kunci penting kebaikan dan keselamatan
hidup setelah Kematian. Dengan kata lain, orang jujur akan selamat dari dunia
dan juga akhirat.[6]
Perhatikan firman Allah SWT..
Di antara ciri benar atau jujur menurut
Al-muhasiby adalah mengharapkan keridhaan Allah SWT. Semata dalam semua
perbuatan, tidak mengharapkan imbalan dari makhluk, benar dalam ucapan dan seseorang bersifat
benar dan jujur harus menghilangkan sifat riya’
dari dirinya, sehingga bagi dirinya tidak ada perbedaan antara orang yang
memuji dan mencelanya.
5. Menempati
janji (al-wafa’)
Dalam Islam,
janji merupakan utang. Utang harus dibayar. Kalau kita mengadakan suatu
perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikannya tepat pada waktunya.
Apabila kita tidak penuhi maka kita termasuk orang yang berdosa. Perjanjian
dengan Allah. Itulah perjanjian yang anda buat dengan Allah, begitu anda
mengucapkan la ilaha illallah,
seluruh dunia ini menjadi saksi bagi anda. Bila anda melanggar perjanjian ini,
maka tangan dan kaki anda, setiap rambut dan bulu di tubuh anda, dan setiap
zarah di bumi dan di langit yang menjadi saksi atas pernyataan anda itu, akan
menjadi saksi bagi anda di hadapan pengadilan Allah kelak, di mana anda tidak
akan mempunyai, seorang pembela pun. T'idak ada seorang pengacara pun yang akan
memohonkan keringanan bagi anda. Bahkan para pengacara dan pembela, yang dalam
pengadilan di dunia ini biasa mempermainkan celah-celah hukum, mereka di
hadapan Allah, akan diadili, seperti anda sendiri, tanpa disertai seorang
pembela pun. Pengadilan di akhirat itu, bukanlah seperti pengadilan yang akan
membebaskan anda berdasarkan permohonan permohonan yang tidak mempunyai dasar
yang kuat, sumpah dan bukti-bukti serta dokumen-dokumen palsu.[7]
Dasar perintah menempati janji adalah
sebagai berikut:
·
Allah SWT berfirman:
Artinya:
وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ
إِذَا عَٰهَدتُّمۡ ...
٩١
Artinya :
“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji....”
(Q.S. An-Nahl [16]: 91)
·
Rasulullah SAW
menjelaskan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -
صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ،
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَان
Artinya :
“Tanda orang munafik itu tiga, yaitu apabila berbicara, ia berdusta,
apabila berjanji, ia ingkar, dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.”
(H.R.
Bukhari)
6. Memelihara
kesucian diri
Memelihara
kesucian diri adalah menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah, dan memelihara
kehormatan. Hal ini dapat dilakukan mulai dari memelihara hati (qalbu) untuk tidak membuat rencana dan angan-angan yang buruk.
Kesucian diri terbagi ke dalam beberapa
bagian:
·
Kesucian pancaindra;
(Q.S. An-Nur [24]: 33)
·
Kesucian jasad; (Q.S.
Al-Ahzab [33]: 59)
·
Kesucian dari memakan
harta orang lain; (Q.S. An-Nisa’ [4]: 6)
·
Kesucian lisan (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 273)
Berkaitan
dengan keutamaan kesucian diri, Ayyub As-Sikhtiyani berkata, “Seseorang tidak akan memperoleh
kesempurnaan jika pada dirinya tidak terdapat dua hal, yaitu menyucikan diri
dari keinginan meminta harta orang lain dan keinginan untuk mengambilnya”.
Kesempurnaan terdapat dalam tiga hal, yaitu kesucian diri dalam beragama, sabar
dalam menghadapi musibah, dan mengelola kehidupan dengan baik.
7. Memperbanyak
Ilmu
Ilmu fardu 'ain dan ilmu fardu kifayah. Istilah fardu 'ain merujuk pada kewajiban agama yang
mengikat setiap muslimin dan muslimah. Ilmu fardu
'ain adalah ilmu yang wajib dituntut, dicari dan diamalkan oleh setiap pemeluk agama
Islam. Istilah fardhu kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah
llahi yang mengikat komunitas muslim dan muslimat sebagai satu kesatuan.[8]
Ilmu sangat
penting bagi seorang muslim, karena hanya dengan ilmu seseorang akan mengerti
hakikat sesuatu yang disampaikan oleh Allah SWT. melalui
perumpamaan-perumpamaan. Karena itu para nabi, sebagai manusia-manusia terbaik,
dikaruniai pengetahuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
أَمَّنۡ
هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ
وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ
لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
Artinya :
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut
kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah,
"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima
pelajaran. (Q.S Azzumar [39] : 9).
Kepada Nabi Muhammad pun Allah memberi berbagai ilmu. Ilmu yang
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad tercermin dalam kehidupannya sebagai
Rasulullah. Oleh karena itu pula, dapat dikatakan bahwa kehidupan Rasulullah
adalah contoh hidup al-Qurani dengan perkataan lain al-Quran dalarn praktik.
Menurut sunnah Nabi Muhammad, manusia, dalam hubungannya dengan ilmu, dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) orang vang berilmu (alim), (2) pencari
ilmu (muta'allim), dan 3) orang awam.
Para ilmuwan ('alim, 'ulama) menurut
sunnah Rasulullah adalah pewaris para nabi. Tinta mereka lebih mulia dari darah
orang yang mati syahid. Tuhan akan memudahkan jalan ke surga bagi orang orang
yang berilmu. "Ilmuwan," kata beliau, “akan berada di tengah-tengahpara
Nabi dan syuhada (orang yang mati syahid) di hadapan Tuhan di akhirat
nanti"[9]
8. Berlaku
adil
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, adil artinya sama berat, tidak berat sebelah, tidak
memihak[10].
Sedangkan menurut istilah keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang
antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya
kita wajib mempertahankan hak hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa
merugikan orang lain. Jadi, keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan
atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.[11]
Berdasarkan
kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa
menjalankan kewajiban. Jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan
kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada pemerasan dan
memperbudak orang lain. Sebaliknya jika kita hanya menjalankan kewajiban dan
lupa menuntut hak maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.[12]
PENUTUP
a. Kesimpulan
Akhlak kepada
diri sendiri terbagi ke dalam beberapa macam, yaitu : sabar, syukur, menunaikan
amanah, menepati janji, memelihara kesucian diri, benar atau jujur, menuntut ilmu, dan berlaku adil. Sabar
terbagi tiga macam yaitu sebagai berikut: Sabar dari maksiat, Sabar karena taat
kepada Allah dan Sabar karena musibah.
b. Kritik
dan Saran
Makalah ini
penulis susun sebaik mungkin, apabila terdapat kesalahan dalam hal pengetikan
maka penulis meminta maaf sebesar-besarnya karena penulis juga manusia biasa,
kritik dan sarannya sangat berguna demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
keberkahan selalu bersama kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Fajar Al Qalami. 2003. Ringkasan Ihya Ulumiddin Imam Ghazali, Jakarta: Gitamedia Press.
Abul A’la Al-Maududi, 1984. Dasar-Dasar Islam, cet.ke-1, Bandung:Pustaka.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak
Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia.
Djoko Widagdho. 2003. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta:Bumi Aksara.
Muhammad Daud Ali. 1998. Pendidikan Agama Islam, Bandung. RajaGrafindo Persada.
Muhammad Rusli Amin. 2010. Rasulullah Sang Pendidikan Jakarta
Selatan : AMP Press.
Rohiman Notowidagdo. 2000. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-quran dan Hadits,
Jakarta :
RajaGrafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Pusat Bahasa.
[1] Abu Fajar Al Qalami, Ringkasan Ihya Ulumiddin Imam Ghazali, (Surabaya:Gitamedia
Press, 2003). Hal. 315.
[2] Abu Fajar Al Qalami, Ringkasan Ihya Ulumiddin Imam .. Hal.
315.
[3]
Abdurrohim,dkk. Buku Siswa Akidah Akhlak,
(Jakarta: Kementerian Pendidikan Islam, 2014), hal.84-85.
[5] Anwar, Rosihon. Akhlak
Tasawuf, Edisi Revisi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), hal.102.
[6]
Muhammad Rusli Amin, Rasulullah sang
Pendidikan (Jakarta Selatan:AMP Press, 2013), hal.181.
[7]
Abul A’la Al-Maududi, Dasar-Dasar Islam, Pustaka (Bandung:1984), cet.
ke-1, hal.23.
[8] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, jilid, terj buku,
nama terjemahan, (Bandung:RajaGrafindo
Persada, 1998), hal.400.
[9]
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, ....., hal.405.
[10]
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008), hal.12.