Makalah Ilmu Akhlak Akhlak Kepada Diri Sendiri - Kimia dan Pendidikan
News Update
Loading...

Sunday, 8 October 2017

Makalah Ilmu Akhlak Akhlak Kepada Diri Sendiri




MAKALAH AKHLAK KEPADA DIRI SENDIRI


 BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi akhlak manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad SAW. untuk menyempurnakan akhlak manusia dan merubah akhlak manusia dari akhlak tercela (akhlak mazhmumah) ke akhlak yang terpuji (akhlakul qarimah). Rasulullah SAW. bersabda dalam suatu hadis yang artinya “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Sebagai generasi bangsa, sebagai pemuda Islam kita harus bisa menjadikan Rasulullah sebagai motivator bagi kita. Pemateri sengaja membahas tentang “Akhlak kepada diri sendiri” agar kita terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
 Segala perilaku manusia sudah diatur oleh Allah SWT. dalam kitab-Nya dan telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. dari ujung kaki sampai ujung rambut sekali pun. Imam Syafi’i berkata “Berapa ramai manusia yang hidup dalam kelalaian sedangkan kain kafannya sedang ditenun”. Kebanyakan manusia rugi karena tidak mau berbuat baik, mereka terpedaya oleh kehidupan dunia. Dewasa ini banyak kita lihat dilingkungan sekitar kita hal-hal yang tidak bagus, pemerkosaan dan tawuran umpamanya. Akhlak manusia semakin hari semakin biadap. Tugas kita lah sebagai generasi muda untuk memperbaiki akhlak manusia, baik itu akhlak kepada Allah, akhlak kepada Rasulullah, akhlak kepada diri sendiri dan akhlak kepada sesama makhluk Allah.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan :

  1. Apa saja yang termasuk ke dalam akhlak kepada diri sendiri?
  2. Bagaimana cara mencontohi keteladan  rasulullah saw. dengan berakhlak kepada diri sendiri?

      C.  TUJUAN   PENULISAN

  1.  Untuk mengetahui apa saja yang termasuk ke dalam akhlak kepada diri sendiri.
  2.  Untuk memberikan informasi mengenai cara mencontohi keteladan  rasulullah saw. dengan   berakhlak kepada diri sendiri?


BAB II
PEMBAHASAN

Sebagai umat Rasulullah SAW. kita harus bisa mencontohi perilaku Rasulullah SAW.. Ada beberapa macam akhlak terpuji terhadap diri sendiri yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Perilaku-perilaku tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Sabar
Sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi mencapai keridaan Tuhannya dan menggantinya dengan bersungguh-sungguh menjalani cobaan Allah SWT. terhadapnya. Sabar bukan hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi dalam hal ketaatan kepada Allah SWT., yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Pernah Umar bin Al Khathab ra. menulis surat kepada Abu Musa Al As’ari ra. dengan pesan sebagai berikut, “Hendaklah kamu bersabar dan ketahuilah sabar itu ada yang lebih utama yaitu ketika engkau sabar dari mencegah sesuatu yang diharamkan Allah. Sabar adalah tiang dari iman. Takwa adalah sebaik-baik kebajikan, adapun takwa itu sendiri harus dilakukan dengan sabar”.[1]
Sabar dalam pandangan Al-Ghazali merupakan tangga dan jalan yang dilintasi oleh orang-orang yang hendak menuju Allah SWT.. Sabar terbagi tiga macam yaitu sebagai berikut:
·                Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Sebagaimana Allah berfirman:
۞وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٥٣
 Artinya:
  “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya, Tuhanku Maha pengampun, Maha penyayang.” (Q.S.Yusuf [12]: 53)

·         Sabar karena taat kepada Allah, artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah SWT., dan menjauhi segala larangan-Nya dengan senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada-Nya. Allah SWT. berfirman yang artinya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٢٠٠
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Q.S. Ali-Imran [3]: 200)
·         Sabar karena musibah, artinya sabar ketika ditimpa kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah SWT.. Allah SWT.  berfirman:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ ١٥٧
Artinya :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji´uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. ( Q.S. Al-Baqarah [2]: 155-157)

2.    Syukur
a.       Pengertian syukur
Syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dalam melakukan maksiat kepada-Nya. Bentuk syukur terhadap nikmat yang Allah SWT. berikan tersebut adalah dengan jalan mempergunakan nikmat Allah tersebut dengan sebaik-baiknya. Adapun karunia yang diberikan oleh Allah harus kita manfaatkan dan kita pelihara, seperti pancaindra, harta benda, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Sebuah riwayat menerangkan bahwa Atha’ menemui Aisyah ra. ia berkata “Beritahukanlah kepadaku tentang sikap Rasulullah yang mengherankanmu?” Aisyah ra. tiba-tiba menangis seraya berkata, “Dia, Rasulullah SAW. datang kepadaku pada malam hari dan tidur bersamaku dalam satu selimut sehingga kulit kami bersentuhan, “Hai puteri Abu Bakar, biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanku.” Aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku masih ingin berdekatan denganmu, tetapi aku lebih mengutamakan keinginan (untuk beribadah kepada Allah), lalu Nabi SAW.  bangun dan mengambil air wudhu dan menunaikan shalat. Ia menangis bercucuran air mata. Ketika rukuk dan sujud pun demikian. Demikianlah dikerjakan semalaman sampai terdengar Bilal mengumandangkan azan. Aku berkata kepadanya “Wahai Rasulullah, apakah yang membuatmu menangis. Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab “Aku menangis karena bersyukur kepada Allah. Dan Allah telah menurunkan firman-Nya kepadaku :
 
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِي تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٖ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٖ وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ١٦٤
Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa sesuatu yang berguna, dan sesuatu yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi yang gersang. Dia sebarkan segala jenis hewan di bumi, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran dan keesaan Allah bagi orang-orang yang mau berpikir” (Q.S Al Baqarah : 164) [2]

Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Ketika tidak mengaruniakan seseorang berupa syukur, berarti Allah menghalanginya untuk memperoleh tambahan nikmat karena Allah SWT telah berfirman,‘Jika kalian bersyukur, Aku akan menambahkan nikmat kepada kalian’.” (H.R Al-Baihaqi).

 b.      Bentuk-bentuk syukur
Mengacu kepada pengertian iman, yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikan dengan amal perbuatan, maka bentuk syukur juga ada tiga, yaitu: [3]
1) Bersyukur dengan hati, yaitu mengakui dan menyadari dengan sepenuh bahwa segala nikmat yang diperoleh berasal dari Allah SWT. dan tiada seseorang pun selain Allah SWT. yang dapat memberikan nikmat itu. Bersyukur dengan hati juga berupa rasa gembira dan rasa terhadap nikmat yang telah diterimanya.
2) Bersyukur dengan lisan, yaitu mengucapkan secara jelas ungkapan rasa syukur itu dengan kalimat hamdalah. Bahkan ada beberapa doa yang diajarkan oleh rasul sebagai ungkapan syukur atas nikmat tertentu, misalnya doa setelah makan, doa bangun tidur, doa selesai buang hajat dan lain sebagainya.
3) Bersyukur dengan amal perbuatan, yaitu menggunakan nikmat yang telah Allah berikan. Misalnya menggunakan anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang baik. Misalnya:
a) menggunakan anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang positif dan diridhai Allah SWT. b) jika seseorang memperoleh nikmat harta benda, maka ia mempergunakan harta itu sesuai dengan jalan Allah SWT..
c) Jika nikmat yang diperolehnya berupa ilmu pengetahuan, ia akan  memanfaatkan ilmu itu untuk keselamatan, kebahagian, dan kesejahteraan manusia dan diajarkan kepada orang lain; bukan sebaliknya, ilmu yang diperoleh digunakan untuk membinasakan dan menghancurkan kehidupan manusia.
Sementara itu Imam Al-Ghazali menegaskan bahawa mensyukuri anggota tubuh yang diberikan Allah SWT. meliputi 7 anggota badan yang penting, yaitu   :
a) Mata, mensyukuri nikmat ini dengan tidak mempergunakannya untuk melihat hal-hal yang maksiat;
b) Telinga, digunakan hanya untuk mendengarkan hal-hal yang baik dan tidak mempergunakannya untuk hal-hal yang tidak boleh didengar;
c) Lidah, dengan banyak mengucapkan zikir, mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT. dan mengungkapkan nikmat-nikmat yang diberikan.
d) Tangan, digunakan untuk melakukan kebaikan-kebaikan terutama untuk diri sendiri, maupun untuk orang lain, dan tidak mempergunakannya untuk melakukan hal-hal yang haram;
e) Perut, dipakai hanya untuk memakan makanan yang halal/baik dan tidak berlebih-lebihan (mubazir). Makanan itu dimakan sekadar untuk menguatkan tubuh terutama untuk beribadat kepada Allah SWT..;
f) Kemaluan, dijaga kehormatan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah seperti zina dan pergaulan bebas.
g) Kaki, digunakan untuk berjalan ke tempat-tempat yang baik, seperti ke masjid, naik haji ke Baitullah (Ka’bah), mencari rezeki yang halal, dan menolong sesama umat manusia.

     3.   Menunaikan amanah
Pengertian amanah menurut bahasa adalah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan atau kejujuran, kebalikan dari khianat. Amanah adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia, ataupun tugas kewajiban. Amanah dengan baik biasa disebut al-amin yang berarti dipercaya, jujur, dan amanah.
Dasar-dasar kewajiban menunaikan amanah adalah sebagai berikut:
·         Allah SWT. berfirman:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ٥٨
Artinya :
“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (Q.S. An-Nisa’[4]: 58)
·         Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:
“Tunaikan amanah yang dipercayakan seseorang padamu dan jangan mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”(H.R Abu Daud)

     4.     Benar atau jujur
Jujur atau kejujuran berarti apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya. Jujur juga berarti seseorang her sih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Jujur berarti pula menepati janji atau menepati kesanggupan, baik yang telah terlahir dalam kata-kata maupun yang masih di dalam hati (niat). Jadi seseorang yang tidak menepati niatnya berarti mendustai dirinya sendiri.[4]
Maksud akhlak terpuji ini adalah berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar dalam perkataan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ada, dan tidak pula menyembunyikannya. Benar dalam perbuatan adalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan petunjuk agama.[5]
Bagi seorang muslim, kejujuran itu tidak hanya akan mengantarnya untuk bisa meraih berbagai kebaikan dunia, tapi lebih dari itu, kejujuran merupakan kunci penting kebaikan dan keselamatan hidup setelah Kematian. Dengan kata lain, orang jujur akan selamat dari dunia dan juga akhirat.[6] Perhatikan firman Allah SWT..
Di antara ciri benar atau jujur menurut Al-muhasiby adalah mengharapkan keridhaan Allah SWT. Semata dalam semua perbuatan, tidak mengharapkan imbalan dari makhluk,  benar dalam ucapan dan seseorang bersifat benar dan jujur harus menghilangkan sifat riya’ dari dirinya, sehingga bagi dirinya tidak ada perbedaan antara orang yang memuji dan mencelanya.

      5.      Menempati janji (al-wafa’)
Dalam Islam, janji merupakan utang. Utang harus dibayar. Kalau kita mengadakan suatu perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikannya tepat pada waktunya. Apabila kita tidak penuhi maka kita termasuk orang yang berdosa. Perjanjian dengan Allah. Itulah perjanjian yang anda buat dengan Allah, begitu anda mengucapkan la ilaha illallah, seluruh dunia ini menjadi saksi bagi anda. Bila anda melanggar perjanjian ini, maka tangan dan kaki anda, setiap rambut dan bulu di tubuh anda, dan setiap zarah di bumi dan di langit yang menjadi saksi atas pernyataan anda itu, akan menjadi saksi bagi anda di hadapan pengadilan Allah kelak, di mana anda tidak akan mempunyai, seorang pembela pun. T'idak ada seorang pengacara pun yang akan memohonkan keringanan bagi anda. Bahkan para pengacara dan pembela, yang dalam pengadilan di dunia ini biasa mempermainkan celah-celah hukum, mereka di hadapan Allah, akan diadili, seperti anda sendiri, tanpa disertai seorang pembela pun. Pengadilan di akhirat itu, bukanlah seperti pengadilan yang akan membebaskan anda berdasarkan permohonan permohonan yang tidak mempunyai dasar yang kuat, sumpah dan bukti-bukti serta dokumen-dokumen palsu.[7]
Dasar perintah menempati janji adalah sebagai berikut:
·         Allah SWT berfirman:
Artinya:
وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ إِذَا عَٰهَدتُّمۡ ... ٩١
Artinya :
“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji....” (Q.S. An-Nahl [16]: 91)
·         Rasulullah SAW menjelaskan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ

 ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَان
Artinya :
“Tanda orang munafik itu tiga, yaitu apabila berbicara, ia berdusta, apabila berjanji, ia ingkar, dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.”
(H.R. Bukhari)

6.      Memelihara kesucian diri                                                 
Memelihara kesucian diri adalah menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan. Hal ini dapat dilakukan mulai dari memelihara hati (qalbu) untuk tidak membuat  rencana dan angan-angan yang buruk.
 Kesucian diri terbagi ke dalam beberapa bagian:
·         Kesucian pancaindra; (Q.S. An-Nur [24]: 33)
·         Kesucian jasad; (Q.S. Al-Ahzab [33]: 59)
·         Kesucian dari memakan harta orang lain; (Q.S. An-Nisa’ [4]: 6)
·         Kesucian lisan (Q.S. Al-Baqarah [2]: 273)
Berkaitan dengan keutamaan kesucian diri, Ayyub As-Sikhtiyani berkata, “Seseorang tidak akan memperoleh kesempurnaan jika pada dirinya tidak terdapat dua hal, yaitu menyucikan diri dari keinginan meminta harta orang lain dan keinginan untuk mengambilnya”. Kesempurnaan terdapat dalam tiga hal, yaitu kesucian diri dalam beragama, sabar dalam menghadapi musibah, dan mengelola kehidupan dengan baik.

7.      Memperbanyak Ilmu
Ilmu fardu 'ain dan ilmu fardu kifayah. Istilah fardu 'ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslimin dan muslimah. Ilmu fardu 'ain adalah ilmu yang wajib dituntut, dicari  dan diamalkan oleh setiap pemeluk agama Islam. Istilah fardhu kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah llahi yang mengikat komunitas muslim dan muslimat sebagai satu kesatuan.[8]
 Ilmu sangat penting bagi seorang muslim, karena hanya dengan ilmu seseorang akan mengerti hakikat sesuatu yang disampaikan oleh Allah SWT. melalui perumpamaan-perumpamaan. Karena itu para nabi, sebagai manusia-manusia terbaik, dikaruniai pengetahuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah :

أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
Artinya :
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui  dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (Q.S Azzumar [39] : 9).

   Kepada Nabi Muhammad pun Allah memberi berbagai ilmu. Ilmu yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad tercermin dalam kehidupannya sebagai Rasulullah. Oleh karena itu pula, dapat dikatakan bahwa kehidupan Rasulullah adalah contoh hidup al-Qurani dengan perkataan lain al-Quran dalarn praktik. Menurut sunnah Nabi Muhammad, manusia, dalam hubungannya dengan ilmu, dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) orang vang berilmu (alim), (2) pencari ilmu (muta'allim), dan 3) orang awam. Para ilmuwan ('alim, 'ulama) menurut sunnah Rasulullah adalah pewaris para nabi. Tinta mereka lebih mulia dari darah orang yang mati syahid. Tuhan akan memudahkan jalan ke surga bagi orang orang yang berilmu. "Ilmuwan," kata beliau, “akan berada di tengah-tengahpara Nabi dan syuhada (orang yang mati syahid) di hadapan Tuhan di akhirat nanti"[9]

8.      Berlaku adil
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil artinya sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak[10]. Sedangkan menurut istilah keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya kita wajib mempertahankan hak hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Jadi, keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.[11]
Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.[12]


PENUTUP
 a.    Kesimpulan
Akhlak kepada diri sendiri terbagi ke dalam beberapa macam, yaitu : sabar, syukur, menunaikan amanah, menepati janji, memelihara kesucian diri, benar  atau jujur, menuntut ilmu, dan berlaku adil. Sabar terbagi tiga macam yaitu sebagai berikut: Sabar dari maksiat, Sabar karena taat kepada Allah dan Sabar karena musibah.
 b.    Kritik dan Saran
Makalah ini penulis susun sebaik mungkin, apabila terdapat kesalahan dalam hal pengetikan maka penulis meminta maaf sebesar-besarnya karena penulis juga manusia biasa, kritik dan sarannya sangat berguna demi kesempurnaan makalah ini. Semoga keberkahan selalu bersama kita.


 DAFTAR PUSTAKA

Abu Fajar Al Qalami. 2003. Ringkasan Ihya Ulumiddin Imam Ghazali, Jakarta: Gitamedia Press.

Abul A’la Al-Maududi, 1984. Dasar-Dasar Islam, cet.ke-1, Bandung:Pustaka.

Anwar, Rosihon. 2010.  Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia.

Djoko Widagdho. 2003. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta:Bumi Aksara.

Muhammad Daud Ali. 1998. Pendidikan Agama Islam, Bandung. RajaGrafindo Persada. 

Muhammad Rusli Amin. 2010. Rasulullah Sang Pendidikan Jakarta Selatan : AMP Press.

Rohiman Notowidagdo. 2000. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-quran dan Hadits, Jakarta : 
         RajaGrafindo Persada.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Pusat Bahasa.


[1] Abu Fajar Al Qalami, Ringkasan Ihya Ulumiddin Imam Ghazali, (Surabaya:Gitamedia Press, 2003). Hal. 315.
[2] Abu Fajar Al Qalami, Ringkasan Ihya Ulumiddin Imam .. Hal. 315.
[3] Abdurrohim,dkk. Buku Siswa Akidah Akhlak, (Jakarta: Kementerian Pendidikan Islam, 2014), hal.84-85.
   [4] Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta:Bumi Aksara, 2003), hal.115.
[5] Anwar, Rosihon.  Akhlak Tasawuf, Edisi Revisi,  (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal.102.
[6] Muhammad Rusli Amin, Rasulullah sang Pendidikan (Jakarta Selatan:AMP Press, 2013), hal.181.
[7] Abul A’la Al-Maududi, Dasar-Dasar Islam, Pustaka (Bandung:1984), cet. ke-1, hal.23.
[8] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, jilid, terj buku, nama terjemahan, (Bandung:RajaGrafindo Persada, 1998), hal.400.
[9] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, ....., hal.405.
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008), hal.12.
  [11] Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-quran dan Hadits, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2000), hal.133.
  [12] IBID

Share with your friends

Give us your opinion

Bijaklah dalam Memberikan Komentar !

Notifikasi
Belum ada notififikasi terbaru.
Done